BUDAYA ORGANISASI
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DAN ORGANISASI
A.
Pendahuluan
Sebuah organisasi mempunyai budaya masing-masing. Ini menjadi salah satu
pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah
organisasi ada yang sesuai dengan anggota atau karyawan baru, ada juga yang
tidak sesuai sehingga seorang anggota baru atau karyawan yang tidak sesuai
dengan budaya organisasi tersebut harus dapat menyesuaikan kalau dia ingin
bertahan di organisasi tersebut.
Budaya organisasi ini dapat membuat suatu organisasi menjadi terkenal
dan bertahan lama. Yang jadi masalah tidak semua budaya organisasi dapat
menjadi pendukung organisasi itu. Ada budaya organisasi yang tidak sesuai
dengan perkembangan zaman. Maksudnya tidak dapat menyocokkan diri dengan
lingkungannya, dan lebih ditakutkan lagi organisasi itu tidak mau menyesuaikan
budaya nya dengan perkembangan zaman karena dia merasa paling benar.
Dalam keadaan inilah anggota tidak akan mendapatkan kepuasan kerja.
Memang banyak faktor lain yang menyebabkan anggota tidak memperoleh kepuasan
kerja, tapi faktor budaya organisasi merupakan faktor yang utama.
B.
Budaya
Organisasi atau Perusahaan
Istilah budaya sebenarnya berakar dari ilmu antropologi sosial. Penelitian
pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20 terhadap masyarakat primitif seperti (Eskimo, Laut Selatan, Afrika, Pwndudukasli
Amerika) mengungkapkan cara hidup mereka yang
sangat berbeda satu sama lain, apalagi kalau
dibandingkan dengan warga Amerika dan Eropa yang jauh lebih maju teknologinya. American
Heritagedictionary menjabarkan “budaya” secara
lebih formal, yaitu keseluruhan interaksi sosial
dari pola perilaku, kesenian, keyakinan, institusidan
semua produk hasil karya dan karakteristik pemikiran manusia dari suatu komunitas
atau populasi.
Schein (1992) membedakan budaya organisasi ke dalam tiga tingkat. Tingkat
pertama ialah tingkat “perilaku dan artifact”. Tingkatan ini adalah
tingkat yang dapat di amati sepeti perilaku otoriter, perilaku luwes, dan
perilaku keras. Semua perilaku yang diamati yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan merupakan ungkapan dari nilai-nilai tertentu.
Nilai-nilai merupakan tingkat kedua dari budaya perusahaan.
Tingkat ini tidak dapat terlihat. Nilai-nilai terungkap melalui pola-pola perilaku
tertentu. Nilai “hemat” akan terungkap dalam perilaku seperti ‘dapat
menabung’. Adapun nilai keterbukaan antara lain dapat terungkap dalam perilaku
‘kesediaan dalam mendengarkan dan memperhatikan kritik, keluh kesah’.
Tingkat ketiga adalah tingkat
yang penting dalam mendasari nilai-nilai, yaitu tingkat keyakinan (beliefs),
yang terdiri dari berbagai asumsi dasar. Orang yang berkeyakinan bahwa “semua
orang baik” akan memiliki nilai kepercayaan dengan prioritas tinggi, dan akan
terungkap dalam perilakunya bahwa ‘ia mudah dan cepat percaya kepada orang’.
Pada tingkatan yang lebih bisa diamati, budaya mencerminkan pola
perilaku atau gaya organisasi yang mesti diadopsi oleh karyawan karyawan baru. Misalnya, pegawai
dalam satu kelompok tertentu dikenal bertahun-tahun sebagai pekerja keras, orang-orang
dalam kelompok lain sangat ramah pada pendatang baru, dan
mereka yang berada di kelompok lain lagi suka berpakaian agak formal. Pada
tingkatan ini, budaya masih sulit berubah, namun
tidak sulit sebagaimana tingkatan nilai nilai dasar tersebut.
Budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan
bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada
pada bagian-bagian organisasi. Merupakan satu mental dari programing dan organisasi
yang merupakan pencerminan dari modal kepribadian organisasi.
Perusahaan memiliki budaya karena adanya kondisi kondisi yang
mendukung penciptaan budaya. Solusi yang
muncul berulang kali dalam memecahkan masalah akan menjadi bagian budaya mereka. Semakin
lama solusi itu mampu mengatasi masalah, maka
akan semakin dalam solusi tersebut merasuk dalam budaya.
Gagasan atau solusi yang kemudian merasuk dalam satu budaya bisa
timbul dari mana saja, dari individu atau kelompok, dari bawah maupun atas. Tapi dalam perusahaan berbudaya
perusahaan yang kuat, gagasan-gagasan ini kerap kali
dikaitkan dengan pendiri atau pemimpin-pemimpin perintis lainnya yang
mengartikulasikan yang sebagai visi, strategi bisnis, filosofi
atau ketiganya.
Kotter dan Heskett (1986) melakukan
penelitian tentang hubungan antara budaya perusahaan dengan kinerja ekonomi
perusahaan jangka panjang yang menunjukkan bahwa :
1. Budaya perusahaan mampu berpengaruh signifikan terhadap kinerja
ekonomi jangka panjang. Perusahaan yang
menganut budaya orientasi pada pelanggan, pemegang
saham dan karyawan serta kepemimpinan manajerial di semua tingkatan, mampu
mengungguli perusahaan yang tidak memiliki budaya semacamitu.
2. Budaya perusahaan bisa menjadi faktor kunci yang menentukan sukses
atau gagalnya perusahaan pada dekade yang akan merintangi perusahaan dalam
mengadopsi perubahan strategi atau taktik yang dibutuhkan. Dalam
dunia yang semakin cepat berubah, budaya adaktif
akan makin berdampak negatif secara finansial dalam dekade mendatang.
3. Budaya perusahaan yang merusak kinerja finansial jangka panjang
tidaklah sedikit, mereka berkembang dengan mudah, bahkan
di perusahaan-perusahaan yang penuh dengan staf yang rasional dan cerdas. Budaya
yang mendorong perilaku yang tidak semestinya dan menghalangi perubahan menuju
strategi yang lebih baik ini, cenderung
terbentuk perlahan selama bertahun-tahun, umumnya
justru saat perusahaan berkinerja bagus.
4. Meski sulit diubah, budaya
perusahaan bisa dibuat sedemikian rupa, sehingga lebih
mendukung kinerja. Perubahan ini bersifat kompleks dan
membutuhkan waktu serta kepemimpinan. Kepemimpinan
tersebut harus dipandu oleh visi realistic mengenai budaya macam apa yang mampu
mendukung kinerja.
Budaya yang
kuat juga dikatakan bisa mendukung kinerja perusahaan karena mampu menurut
motivasi yang tinggi di kalangan pekerja. Terkadang bahkan ada deklarasi bahwa
nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat karyawan merasa nyaman
bekerja dalam sebuah organisasi. Kadang
dikatakan pula bahwa praktik-praktik tertentu yang ada dalam perusahaan
berbudaya kuat membuat karyawan merasakan adanya penghargaan intrinsik selama
bekerja. Melibatkan karyawan dalam
pengambilan keputusan dan mengakui kontribusi mereka adalah 2 contoh yang umum.
Konsep kunci
yang digunakan adalah “keselarasan”. Pandangan
ini menyatakan bahwa isi budaya sama penting dengan, lebih
penting dari, kekuatan budaya itu sendiri. Selanjutnya, perspektif
ini menyatakan bahwa tidak ada satu isi budaya yang pas diterapkan di semua
perusahaan tanpa terkecuali. Menurut
perspektif ini, hanya budaya yang secara kontekstual
maupun strategi Selaras ajalah yang mampu mendorong kinerja unggul perusahaan.
Teori ini
memprediksi bahwa budaya yang bercirikan pengambilan keputusan yang cepat dan
rendahnya perilaku birokratis akan mendukung kinerja dalam lingkungan
perusahaan pelaku merger dan akuisisi yang diwarnai kompetisi dalam
menghasilkan kesepakatan terbaik. Sebaliknya, budaya
semacam ini akan memper buruk kinerja perusahaan asuransi jiwatradisional.
Meski
perspektif ini tidak memberi gambaran Cukup jelas mengenai Apa yang disebut “good
fit”, logika yang ada di dalamnya tetap
menarik. Gagasan bahwa perusahaanhi-tech kecil
membutuhkan budaya yang berbeda dari budaya bank besar sepenuhnya bisa dipahami.
C. Sifat dari Budaya Organisasi.
Perubahan skala besar dalam sebuah organisasi biasanya membutuhkan
suatu perubahan dalam budaya organisasi dan juga pengaruh langsung atas
masing-masing bawahan. Dengan mengubah
budaya sebuah organisasi, manajemen
puncak secara tidak langsung dapat mempengaruhi motivasi dan perilaku dari para
anggota organisasi.
Schein
(1992) mengidentifikasikan budaya dari sebuah kelompok atau organisasi
sebagai asumsi dan keyakinan bersama tentang dunia dan tempat mereka didalamnya, sifat
dari waktu dan ruang, sifat manusia dan hubungan manusia. Schein membedakan
antara keyakinan yang mendasari dan nilai yang menyertai, yang
mungkin atau mungkin tidak konsisten dengan keyakinan ini. Nilai
ini menyertai tidak secara akurat mencerminkan budaya saat mereka tidak
konsisten dengan keyakinan yang mendasari. Contohnya, sebuah
perusahaan dapat menyertakan komunikasi terbuka, tetapi
keyakinan yang mendasari bisa bahwa suatu kecaman atau tidak sesuai and adalah
mengganggu dan harus dihindari. Sulit untuk
menggali di bawah lapisan buatan dari nilai yang mendasari untuk menemukan
keyakinan dan asumsi yang mendasari, yang
sebagiannya mungkin Secara tidak sadar.
Keyakinan yang mendasari mewakili budaya dari sebuah kelompok atau
organisasi adalah respons yang dipelajari terhadap permasalahan bertahan dalam
lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal. Permasalahan
eksternal yang utama adalah misi Inti atau alasan keberadaan organisasi, sasaran
concrete berdasarkan misi ini, strategi untuk
mencapai sasaran ini, dan cara-cara untuk mengukur
keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Sasaran dan strategi tidak dapat dicapai secara efektif tanpa upaya
kerjasama dan kestabilan wajar dari keanggotaan dalam organisasi. Permasalahan
internal meliputi kriteria untuk menentukan keanggotaan dalam organisasi itu, dasar
untuk menentukan status dan kekuasaan, kriteria dan
prosedur untuk mengalokasikan penghargaan dan hukuman,
sebuah ideologi untuk menjelaskan peristiwa yang tidak dapat diprediksikan dan
tidak dapat dikendalikan, peraturan atau
budaya tentang bagaimana menangani agresi dan keintiman, dan
sebuah konsensus bersama tentang makna dari perkataan dan simbol.
Sebuah fungsi utama dari budaya adalah membantu memahami lingkungan
dan menentukan Bagaimana meresponnya, yang karena
mengurangi kecemasan, ketidakpastian dan kebingungan. Permasalahan
internal dan eksternal salingterkait, dan
organisasi harus menghadapi mereka secara simultan. Saat
solusi dikembangkan melalui pengalaman, mereka menjadi
asumsi bersamayang diturunkan kepada anggota baru.
Para pemimpin dapat mempengaruhi budaya sebuah organisasi dalam
beragam cara. Menurut Schein (1992) 5 mekanisme
utama menawarkan potensi terbesar untuk ditanamkan dan menguatkan aspek budaya, yaitu :
1. Mekanisme utama terdiri dari :
a. Hal apa yang dimaksud oleh pemimpin?
Para pemimpin menyampaikan prioritas, nilai
dan perhatian mereka dengan pilihan mereka akan hal hal yang akan ditanyakan, diukur, diberikankomentar, dipujidandikecam. Sebagian komunikasi ini terjadi saat pemimpin merencanakan
aktivitas dan mengawasi operasi. Ledakan
emosional oleh para pemimpin memiliki pengaruh kuat yang khusus dalam
menyampaikan nilai dan perhatian Begitupun sebaliknya.
b. Cara-cara memberikan reaksi terhadap krisis
Karena emosi yang mengelilingi krisis, respon
seorang pemimpin terhadap nya dapat mengirimkan sebuah pesan yang kuat tentang
nilai dan asumsi. Seorang pemimpin yang setia
mendukung nilai yang menyertai bahkan saat dibawa tekanan air untuk tindakan
bijaksana menyampaikan dengan jelas bahwa nilai-nilai itu amatlah penting. Contohnya
sebuah perusahaan yang memiliki penjualan yang rendah menghindari pemecatan
dengan meminta semua karyawan termasuk manajer untuk bekerja dengan jam kerja
yang lebih sedikit dan mengambil pemotongan gaji, keputusan
itu menyampaikan sebuah perhatian kuat untuk mempertahankan pekerjaan karyawan.
c. Pembuatan modelperan
Para pemimpin dapat menyampaikan nilai-nilai dan harapan dengan
tindakan mereka sendiri, khususnya
tindakan yang memperlihatkan kesetiaan, pengorbanan
diri dan pelayanan di luar panggilan tugas.
d. Kriteria untuk mengalokasikan penghargaan
Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan penghargaan
memberikan tanda apa yang dihargai oleh organisasi. Pengakuan
formal dalam upacara dan pujian tidak formal menyampaikan perhatian dan
prioritas seorang pemimpin. Kegagalan untuk
mengakui kontribusi dan keberhasilan mengirimkan sebuah pesan bahwa mereka
tidak penting. Akhirnya pembedaan alokasi
penghargaan dan simbol status menguatkan relatif pentingnya beberapa anggota
dibandingkan dengan yang lainnya.
e. Kriteria untuk seleksi pemberhentian
Para pemimpin dapat mempengaruhi budaya dengan pilihan mereka akan
kriteria untuk perekrutan, seleksi, mempromosikandanmemberhentikan orang. Para pemimpin juga menyampaikan nilai dan perhatian mereka dengan
memberikan informasi realistis tentang kriteria dan persyaratan untuk
keberhasilan dalam organisasi.
2. Mekanismesekunder :
a. Rancangan sistem dan prosedur manajemen
Anggaran formal, sesi yang
direncanakan, laporan, tinjauankinerja, dan program perkembangan manajemen dapat digunakan untuk menekankan
beberapa aktivitas dan kriteria, sambil membantu
mengurangi ambiguitas peran. Sebuah pilihan
untuk formalitas mencerminkan nilai yang kuat mengenai Kendari dan perintah.
b. Rancangan struktur organisasi
Rancangan struktur seringkali lebih dipengaruhi oleh asumsi
mengenai hubungan internal dan teori implisit atas manajemen dibandingkan
dengan persyaratan aktual untuk adaptasi efektif terhadap lingkungan. Sebuah
struktur terpusat mencerminkan keyakinan bahwa hanya pemimpin yang dapat
menentukan apa yang terbaik, sedangkan
struktur terdesentralisasi atau penggunaan tim-tim yang mengelola sendiri
mencerminkan sebuah keyakinan dalam inisiatif individual dan tanggung jawab
bersama.
c. Rancangan fasilitas
Walaupun jarang dilakukan sebagai sebuah strategi yang disengaja, para
pemimpin dapat merancang fasilitas untuk mencerminkan nilai dasar. Contohnya, sebuah
layout kantor terbuka adalah konsisten dengan nilai komunikasi terbuka. Memiliki
kantor yang serupa dan fasilitas ruang makan yang sama di bagi semua karyawan
adalah konsisten dengan nilai egalitarian atau bahwa semua orang adalah sama.
d. Cerita, legenda dan mintos
Cerita tentang peristiwa penting dan orang-orang dalam organisasi
membantu memindahkan nilai dan asumsi. Namun, cerita
dan mitos lebih menjadi sebuah refleksi dari budaya daripada faktor penentunya.
Potensi penggunaan mekanisme ini oleh para pemimpin untuk mempengaruhi budaya
sangat terbatas dalam suatu organisasi atau masyarakat di mana komunikasi
terbuka memungkinkan untuk mendeteksi cerita yang salah.
e. Pernyataan formal
Pernyataan publik dari nilai-nilai oleh pemimpin dan pernyataan
nilai secara tertulis, piagam dan
filosofi dapat berguna sebagai tambahan bagi mekanisme lain. Namun
pernyataan formal biasanya hanya menjelaskan sebagian kecil dari asumsi dan
keyakinan budaya organisasi dan mereka tidak memiliki kredibilitas, terkecuali
perkataan itu didukung oleh tindakan dan keputusan pemimpin.
D. Bentuk-Bentuk Budaya
Sejumlah perubahan perbedaan adalah mungkin, termasuk penghilang
bentuk budaya yang ada menjadi simbol dari ideologi lama, modifikasi dari
bentuk budaya yang ada untuk memperlihatkan ideologi baru dan penciptaan bentuk
budaya baru.
Ritual upacara dan tata cara perjalanan dapat digunakan untuk
menguatkan identifikasi dengan organisasi dan juga menekankan nilai nilai inti. Dalam
banyak organisasi para anggota baru diminta untuk melakukan sumpah kesetiaan di
hadapan publik, untuk memperlihatkan pemahaman akan
ideologi atau untuk menjalani cobaan berat untuk memperlihatkan kesetiaan. Yang
juga umum adalah upacara untuk merayakan kemajuan peringkat Seorang anggota. Program
pelatihan formal yang telah dirancang untuk meningkatkan keterampilan kerja
juga dapat digunakan untuk mengajar para partisipan tentang ideologi dari
organisasi. Pendekatan lainnya untuk sosialisasi
anggota baru meliputi penggunaan mental formal yang terpilih karena mereka
mampu menjadi model dan mengajarkan nilai-nilai penting dan penggunaan masa
belajar, magang atau penugasan khusus untuk
bekerja dalam sub unit organisasi di mana budayanya amatkuat (Fisher, 1986).
E.
Budaya Adaptif
Dalam
literatur tentang budaya, terdapat perspektif lain yang membahas langsung
mengenai isu adaptasi. Logika yang mendasar dari teori ini sangatlah jelas,
karena hanya budaya yang bisa membantu organisasi mengantisipasi dan
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang akan menghasilkan kinerja
superior dalam jangka panjang.
Para pendukung teori ini kerap kali
merujuk pada budaya yang tidak begitu adaptif untuk memperoleh wawasan mengenai
apa iru budaya adaptif. Mereka menuliskan bahwa budaya tidak adaptif umumnya
sangat birokratis. Anggota organisasi sangat reaktif, menghindari resiko dan
tidak begitu kreatif. Informasi tidak mengalir secara cepat dan mudah ke semua
bagian organisasi. Penekanan terhadap kontrol secara luas memperlemah motivasi dan antusiasme. Mereka
menyimpulkan bahwa budaya adaptif pasti memiliki karakteristik yang sangat
berbeda.
Ralph Kilmannbudaya semacam itu
sebagai berikut, satu budaya adaptif diwarnai oleh pendekatan pengambilan
resiko, saling percaya
dan proaktif dalam kehidupan organisasi maupun individu. Para anggota aktif
mendukung koleganya untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dan menerapkan solusi efektif. Setiap
orang harus memiliki kepercayaan bahwa mereka mampu untuk mengolah masalah dan
peluang apapun secara efektif. Semua orang memiliki antusianisme yang sama
dimana semangat untuk melakukan apapun demi mencapai kesuksesan organisasi.
Para anggota bersikap terbuka terhadap perubahan dan inovasi.
Sebagian besar dari pendukung teori
ini akan menunjuk pada Digital Equipment
Corporation sebagai contoh kasus perusahaan berbudaya yang mendukung
inovasi, pengambilan resiko, diskusi yang jujur, kewirausahaan da kepemimpinan
di seluruh hirarki. Mereka
berargumen bahwa budaya ini dapat membawa perusahaan lebih sukses beradaptasi
dalam industri komputer yang berubah sangat cepat, ketimbang
perusahaan-perusahaan lain yang budaya nya tidak mendorong pengambilan resio
dan kewirausahaan. Mereka meyakini bahwa keunggulan adaptibilitas adalah alasan
utama mengapa digital banyak mengungguli perusahaan yang lain.
Namun, teori ini tidak lepas dari
kritikan para kritikus yang menyatakan bahwa teori ini tidak bisa menjelaskan
mengapa perusahaan yang tidak memiliki pengambilan resiko atau kewirausahaan
bisa berprestasi dengan baik selama periode yang panjang. Hal yang lebih menyulitkan menurut mereka adalah teori
ini telah mengabaikan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti : apa tujuan
oengambilan resiko? Adaptasi terhadap apa? Apa tujuan inovasi? Teori ini hanya
mampu menjawab pertanyaan itu secara abstrak. Sepertinya mereka berasumsi bahwa
selama budaya perusahaan mendukung perubahan dan tidak nyata bersifat politis,
maka budaya ini akan mampu beradaptasi dan mendorong kinerja ekonomi jangka
panjang.
Kritik terhadap teori ini
bersikeras bahwa teori ini tidak masuk akal dan mempunyai faktor kegagalan yang
sama dengan teori lainnya, yaitu tidak mengandung kearah mana budaya yng kuat
dan budaya yang mendorong perubahan bisa membuat perbedaan. Argumentasi mereka
adalah bahwa budaya yang mempromosikan perubahan atau fleksibel bisa menjadi
tidak adaptif karena budaya tersebut mendorong orang-orang (bahkan yang pandai
sekalipun) untuk merombak segalanya, atau merombak hal yang salah. Demikian juga dengan budaya yang menghargai
kepemimpinan bisa melahirkan kepemimpinan ke arah yang salah.
Pengaruh
seorang pemimpin pada budaya sebuah organisasi memiliki keberagaman yang
bergantung pada tahap perkembangan organisasi tersebut. pendiri dari sebuah
organisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap budayanya di mana biasanya
pendiri memiliki visi perusahaan baru dan mengusulkan berbagai cara untuk
melakukan banyak hal, sehingga jika berhasil dalam mencapai sasaran dan
mengurangi kecemasan secara bertahap akan tertanam dalam budayanya. Namun,
menciptakan budaya dalam sebuah organisasi baru tidak selalu merupakan proses
yang halus, hal ini dapat melibatkan cukup banyak konflik dika ide-ide si
pendiri itu tidak berhasil atau anggota lain yang berkuasa dari organisasi itu
memiliki ide yang bersaing. Agar berhasil,pendiri itu membutuhkan sebuah puisi
yang tepat dan kemampuan serta ke kukuh and untuk mempengaruhi orang lain agar
menerimanya. jika si pendiri itu tidak menyampaikan visi yang konsisten dan
bertindak secara konsisten untuk melaksanakannya, organisasi bisa mengembangkan
sebuah budaya this fungsional yang mencerminkan konflik bagian dalam diri
pendiri itu (kets devries & miller, 1984).
salah satu
elemen terpenting dari budaya organisasi baru adalah kumpulan keyakinan tentang
kompetensi berbeda dari organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain.
keyakinan itu akan mungkin menjadi alasan mengapa produk atau jasa organisasi
adalah unik atau superior dan proses internal yang bertanggung jawab untuk
kemampuan yang berkelanjutan agar memberikan produk dan jasa ini. implikasi
untuk status relatif dari fungsi yang berbeda dalam organisasi dan strategi
untuk menyelesaikan krisis adalah perbedaan yang bergantung pada sumber
kompetensi yang beda. Sebagai contohnya, dalam sebuah perusahaan yang berhasil
karena perkembangan produk inovatif nya, fungsi penelitian dan perkembangan
akan mungkin memiliki status yang lebih tinggi daripada fungsi lainnya dan
kemungkinan respon terhadap penurunan terbaru dalam penjualan adalah dengan memperkenalkan
beberapa produk baru. dalam sebuah perusahaan yang telah mampu memberikan
sebuah produk umum dengan harga terendah, pabrikasi kan memiliki status yang
lebih tinggi dan respon terhadap penurunan penjualan pastilah dengan melibatkan
pencarian cara-cara untuk mengurangi biaya di bawah biaya para pesaing.
Budayadalam
organisasi mudah yang berhasil pastilah amat kuat karena hal ini adalah
instrumental bagi keberhasilan organisasi, asumsi di internalisasikan oleh
anggotasaat ini dan diberikan kepada anggota baru dan pendiri nya tepat hadir
untuk menjadi simbol dan menguatkan budaya organisasi tersebut. Dengan demikian
budaya dalam organisasi akan bergerak perlahan selama bertahun-tahun saat
pengalaman mengungkapkan bahwa beberapa asumsi harus dimodifikasi. pada
akhirnya saat organisasi itu matang dan orang selain pendiri atau anggota
keluarga, menduduki posisi kepemimpinan penting budaya akan menjadi lebih tidak
disadari dan tidak terlalu seragam. Saat sub budaya berbeda berkembang dalam
sub unit yang berbeda, konflik dan perjuangan kekuasaan bisa meningkat. segmen
dari budaya yang pada awalnya fungsional bisa menjadi disfungsional, yang dapat
menghalangi organisasi untuk beradaptasi pada sebuah lingkungan yang baru.
secara umum
jauh lebih sulit untuk mengubah budaya dalam sebuah organisasi yang matang
dibandingkan dengan menciptakan nya dalam sebuah organisasi yang baru. Terdapat
beberapa alasan mengenai hal ini, banyak yang meyakini dan berasumsi yang
mendasari orang-orang dalam sebuah organisasi ternyata implisit dan tidak
sadar. Asumsi budaya juga sulit berubah saat mereka membenarkan masa lalu dan
merupakan masalah kebanggaan. Selanjutnya nilai budaya mempengaruhi seleksi
para pemimpin dan harapan peran dari mereka. Dalam dunia organisasi yang matang
dan relatif makmur budaya mempengaruhi pemimpin lebih daripada pemimpin yang
mempengaruhi budaya. perubahan drastis tidak mungkin terjadi kecuali terdapat
sebuah krisis besar yang mengancam kesejahteraan dan bertahan nya organisasi
itu. bahkan dengan sebuah krisis membutuhkan cukup banyak wawasan dan
keterampilan bagi seseorang pemimpin untuk memahami budaya yang ada dalam
sebuah organisasi dan menerapkan perubahan dengan berhasil.
G.
Sifat budaya
berkinerja rendah
studi mengenai
hubungan budaya perusahaan dengan kinerja ekonomi jangka panjang mendorong
sejumlah pertanyaan menarik. Keadaan apa yang mendorong terbentuknya budaya
yang bersifat merusak kinerja ekonomi? Seberapa sering hal ini terjadi dan
dengan demikian seberapa besar konsekuensinya terhadap budaya? Apakah begitu
sulit mentransformasikan budaya tersebut menjadi budaya yang mendukung kinerja
dan mengapa?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, Kotter dan Heskett mempelajari sejarah 20 perusahaan di
amerika. Semuanya selamat periode akhir 1970an dan awal 1980an yang tampaknya
tidak memiliki budaya yang menyerupai budaya mampu mendongkrak kinerja ekonomi.
Perusahaan-perusahaan ini mencerminkan berbagai bidang industri di amerika,
namun tampaknya terdapat pula yang konsisten dalam urusan peristiwa yang membentuk
bagian penting dalam budaya mereka. sejarah perusahaan-perusahaan ini umumnya
dimulai dari kombinasi kepemimpinan yang visioner dan keberuntungan. di mana
strategi bisnis yang tepat diterapkan oleh sekelompok orang dengan komitmen
tinggi, karena dari strategi tersebutdapat menempatkan perusahaan ke posisi
yang kuat di pasar dan memberikan sarana untuk mempertahankan posisi itu. Namun
pertumbuhan berkelanjutan menciptakan tantangan internal yang besar. Semakin
banyak bekerja yang direkrut, organisasi tumbuh semakin besar dan operasi
harian menjadi semakin kompleks. Untuk menghadapi tantangan internal
organisasi, para eksekutif mencari, merekrut, mengembangkan dan mempromosikan
manajer yang cakap sesungguhnya bukan pemimpin, tapi orang-orang yang lebih
memahami mengenai struktur, sistem, anggaran dan kontrol ketimbang memahami
bisi, strategi, budaya dan inspirasi.
Budaya yang
tidak sehat yang timbul dari kondisi ini memiliki tiga komponen umum. Pertama,
para manajer cenderung menjadi arogan. Kedua,meski sering diprotes masyarakat
para manajer dalam budaya ini cenderung tidak begitu menghargai pelanggan dan
pemegang saham serta karyawan. Ketiga, budaya ini menentang nilai-nilai seperti
kepemimpinan atau mesin perubahan lain yang sebagian karena tidak banyak yang dibutuhkan dalam situasi semacam itu.
budaya yang seperti ini dapat melorot kan kinerja ekonomi karena tidak berbuat
apa-apa untuk membantu perusahaan berabahkan saat kinerja perusahaan merosot
drastis lantaran ketidak keselarasan yang signifikan antara budaya dan
lingkungan praktik-praktik yang tidak lagi efektif. bahkan saat kinerja
perusahaan merosot drastis lantaran ketidakselarasan yang signifikan antara
budaya dan lingkungan, tetap perubahan tidak digerakkan dengan cepat atau mudah
karena gabungan sikap arogan, kepicikan dan kurangnya kepemimpinan.
H.
Peran manajemen
puncak
Budaya
mencerminkan kesalingtergantungannilai dan cara-cara berperilaku yang umum
dalam satu komunitas dan cenderung langgeng namun tak jarang juga berlangsung
dalam waktu yang sangat lama. Kontinuitas ini adalah produk dari berbagai
kekuatan sosial yang subtil, tidak kaset mata. Dengan budaya ini orang-orang
akan mempelajari norma-norma dan nilai-nilai satu kelompok.
Dalam
perusahaan perusahaan yang berbudaya kuat, para manajer cenderung bergerak
dengan giat ke arah yang sama dalam koordinasi yang baik. Penyelarasan,
motivasi, organisasi dan pengawasan bisa mendukung kinerja, namun hanya jika
tindakan yang dihasilkan tersebut selaras dengan strategi bisnis dalam
lingkungan tertentu di mana perusahaan tersebut beroperasi. Kinerja tidak akan
meningkat bila perilaku dan metode bisnis tidak selaras dengan pasar produk
atau jasa, pasar financial, denpasar tenaga kerja.
Budaya yang
tidak ada adaptif mengambil bentuk yang beraneka ragam. Dalam budaya semacam
ini, para manajer cenderung mengabaikan perubahan konteks yang relevan dan
bergantung pada strategi yang sudah ketinggalan zaman dan praktik-praktik yang
kaku. Budaya ini menyulitkan orang-orang, khususnya yang berada di level bahwa
hirarki, untuk itu budaya ini cenderung mematikan semangat orang-orang
khususnya mereka yang memiliki nilai-nilai personal yang menekankan pada
integritas kepercayaan dan kepedulian pada orang lain.
Dalam budaya
perusahaan yang mempromosikan perubahan yang bermanfaat,para manajer memusatkan
perhatian pada perubahan yang relevan dalam konteks perusahaan dan memprakarsai
perubahan bertahap dalam strategi dan praktik-praktik untuk menjaga agar
perusahaan dan budaya tetap selaras dengan realitas lingkungan. norma-norma
perilaku ini tampaknya didorong oleh sistem nilai yang menekankan pada
pemenuhan kebutuhan konstituen kunci yang bersumber dari nya sangat penting
bagi kinerja perusahaan, terutama pelanggan, karyawan dan pemegang saham.
Nilai-nilai ini juga menekankan pentingnya sumber daya manusia dan proses yang
bisa mendorong perusahaan khususnya kepemimpinan yang kompeten dan di semua
hirarki sistem nilai semacam ini adalah kunci kinerja unggul karena mampu memberi
energi bagi para manajer dan mendorong mereka melakukan apapun yang dianggap
perlu guna membantu perusahaan beradaptasi terhadap lingkungan kompetitif yang
cepat berubah.
Banyak
perusahaan yang menyatakan bahwa mereka peduli pada pelanggan, pemegang saham
dan karyawan. makin banyak organisasi yang menyatakan bahwa mereka yakin pada
pentingnya kepemimpinan kompeten pada setiap level hirarki. Namun hanya sedikit
yang benar-benar menerapkannya. Setidaknya dalam budaya mereka menyatakan lebih
banyak nilai-nilai ariel ketimbang sekadar pernyataan misi atau kredo.secara
rata mereka yang sungguh-sungguh menerapkannya tampaknya mampu mengungguli
pesaing mereka secara meyakinkan.
Saat budaya
pendukung kinerja berkembang pada masa masa awal perusahaan, setidaknya ada dua
unsur penting: (1) seorang wirausaha yang memiliki filosofi bisnis yang serupa
dengan yang ditemukan dalam inti budaya adaptif, dan (2) strategi bisnis yang selaras dengan situasi
spesifik dan meraih cukup banyak sukses, sehingga membuat sang wirausahawan
memiliki kredibilitas tinggi di mata para karyawan. Kami menduga unsur-unsur
ini biasa ditemui pada perusahaan-perusahaan baru yang sangat sukses, sebagian
besar karena unsur-unsur tersebut menentukan kesuksesan dalam lingkungan bisnis
yang kompetitif. Namun budaya mendongkrak kinerja kerap kali terkikis seiring
pertumbuhan perusahaan, atau karena waktu dan kesuksesan serta unsur-unsur lain
mampu mengabulkan ingatan semua orang mengenai faktor-faktor yang membuat
mereka sukses di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar