A.
Pendahuluan
Setiap manusia pasti mengalami
pertumbuhan dan perkembangan dalam fase kehidupannya. Perkembangan menurut Hurlock
(1980) adalah serangkaian perubahan yang progresif yang terjadi akibat proses
kematangan dan pengalaman. Secara biologis, prosesnya yaitu mempengaruhi
peubahan pada fisik individu misalnya : gen yang di turunkan dari orang tua,
tinggi badan, berat badan, prubahan hormon dll
pertumbuhan dan perkembangan tersebut antara lain perkembangan kognitif
dan psikososial.
Perkembangan kognitif merupakan
proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu
manusia sedang berpikir. Perkembangan kognitif adalah perkembangan yang
mendasar bagi manusia, karena perkembangan kognitif yang bertanggung jawab atas
keberhasilan perkembangan psikososial agar kedua perkembangan ini dapat
berjalan seiringan dan seimbang.
Beberapa definisi tentang perkembangan
(development) dikemukakan oleh beberapa tokoh psikologi perkembangan. J.P.Chaplin
mengartikan perkembangan sebagai :
a.
Perubahan yang
berkesinambungan dan progresif dari
organisme, mulai lahir sampai mati,
b.
Pertumbuhan,
c.
Perubahan dalam
bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah kedalam bagian-bagian
fungsional,
d.
kedewasaan atau
kemunculan pola-pola dari tingkah laku yang tidak dipelajari (Abdul Mujib
& Jusuf Mudzakir, 2002).
Menurut Reni Akbar Hawadi, perkembangan secara luas menunjuk pada
keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil
dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri yang baru. Sedangkan menurut F.J.
Monks, pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih
sempurna dan tidak dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan
yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali (Desmita, 2005)
Secara umum, menurut mussen, conger dan kagan yang dikutip anita
e.woolfolk perkembangan adalah perubahan-perubahan tertentu yang muncul pada
diri manusia (atau binatang) diantara konsepsi (pembuahan) dan mati. Perubahan
yang dimaksud disini adalah perubahan pada masa awal kehidupan, diasumsikan
menuju (hal yang) lebih baik dan menghasilkan perilaku yang lebih adaptif,
lebih teratur, lebih efektif, lebih kompleks, dan tingkat yang lebih tinggi (Anita
E. Woolfolk, 2004)
Dari beberapa pengertian diatas dapat penulis simpulkan secara umum
bahwa perkembangan adalah proses perubahan dalam diri individu yang berlangsung
secara terus menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan
rohaniah menuju kedewasaan.
Perubahan dalam diri manusia terdiri atas perubahan kualitatif
akibat dari perubahan psikis, dan perubahan kuantitatif akibat dari perubahan fisik.
Perubahan kualitatif disebut perkembangan, seperti perubahan dari tidak
mengetahui menjadi mengetahui dan dari kekanak-kanakan menjadi dewasa.
Sedangkan perubahan kuantitatif disebut dengan pertumbuhan, seperti perubahan
tinggi dan berat badan (Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, 2002).
Jadi perkembangan tidak ditentukan dari segi material sebagaimana
pada pertumbuhan, tetapi dilihat dari segi fungsi-fungsi. Perubahan kualitatif
dari segi fungsi disebabkan oleh adanya proses pertumbuhan material yang memungkinkan
adanya fungsi dan disebabkan oleh karena adanya perubahan tingkah laku akibat
dari pengalaman dan belajar.
B.
Teori
Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Piaget
adalah seorang ahli psikologi perkembangan, ia mempelajari bagaimana
pengetahuan dan kompetensi diperoleh sebagai konsekuensi pertumbuhan dan
interaksi dengan lingkungan fisik dan sosial (Dahar, 2006: 131). Piaget
terkenal dengan teori perkembangan mental manusia atau teori perkembangan
kognitif. Teori Piaget sesuai dengan konstruktivisme yang memandang
perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana peserta didik secara aktif
membangun sistem makna dan pemahaman nyata menggunakan pengalaman dan interaksi
yang dimiliki (Trianto, 2011: 14).
Piaget
memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya
mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi. Walaupun proses
berfikir dalam konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh
pengalaman dengan dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam
menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui pengalaman, serta dalam
mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia
punya.
Piaget
percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau
periode-periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget,
setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat
invarian, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini
terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
adanya pengorganisasian struktur berfikir. Sebagai seorang yang memperoleh
pendidikan dasar dalam bidang eksakta, yaitu biologis, maka pendekatan dan
uraian dari teorinya terpengaruh aspek biologi.
Teori Piaget
merupakan akar revolusi kognitif saat ini yang menekankan pada proses mental.
Piaget mengambil perspektif organismik, yang memandang perkembangan kognitif
sebagai produk usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka.
Menurut Piaget, bahwa perkembangan kognitif dimulai dengan kemampuan bawaan
untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan kemampuan bawaan yang bersifat
biologis itu, Piaget mengamati bayi-bayi mewarisi reflek-reflek seperti reflek
menghisap. Reflek ini sangat penting dalam bulan-bulan pertama kehidupan
mereka, namun semakin berkurang signifikansinya pada perkembangan selanjutnya.
Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses yang saling
berhubungan, yaitu:
1.
Organisasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk
mengintegrasikan pengetahuan kedalam system-sistem. Dengan kata lain,
organisasi adalah system pengetahuan atau cara berfikir yang disertai dengan
pencitraan realitas yang semakin akurat. Contoh: anak laki-laki yang baru
berumur 4 bulan mampu untuk menatap dan menggenggam objek. Setelah itu dia
berusaha mengkombunasikan dua kegiatan ini (menatap dan menggenggam) dengan
menggenggam objek-objek yang dilihatnya.
Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki
kecenderungan untuk membuat struktur kognitif menjadi semakin komplek. Struktur-struktur
kognitif disebut skema. Skema adalah pola prilaku terorganisir yang digunakan
seseorang untuk memikirkan dan melakukan tindakan dalam situasi tertentu.
Contoh: gerakan reflek menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan
bibir yang menimbulkan gerakan menarik.
2.
Adaptasi.
Merupakan cara anak untuk memperlakukan
informasi baru dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi
ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
a.
Asimilasi, yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah lingkungan guna
menyesuaikan dengan dirinya sendiri. Contoh asimilasi kognitif: seorang anak yang
diperlihatkan segi tiga sama sisi, kemudian setelah itu diperlihatkan segitiga
yang lain yaitu siku-siku. Asimilasi terjadi jika si anak menjawab bahwa
segitiga siku-siku yang diperlihatkan adalah segitiga sama sisi.
b.
Akomodasi, yaitu kecenderungan organism untuk merubah dirinya sendiri
guna menyesuaikan diri dengan sekelilingnya.. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu
menyesuaikan diri dengan informasi baru. Melalui akomodasi ini, struktur
kognitif yang sudah ada dalam diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan
rangsangan-rangsangan dari objeknya. Contoh: si anak bisa menjawab segitiga
siku-siku pada segitiga yang diperlihatkan kedua.
Hubungan
antara asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut seperti yang telah
dikemukakan ialah komplementer. Dalam setiap tingkah laku organism dapat
ditemukan aspek asimilasi dan akomodasi. Hal ini dapat dilihat dari tingkah
laku meraih pada anak bayi.
Tahapan
perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sensorimotor, praoperasional,
operasional konkrit dan operasional formal yaitu :
1.
Sensorimotor
(0-2 tahun), bayi atau balita
Pada tahap ini anak lebih banyak
menggunakan gerak refleks dan inderanya untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Perkembangan pada tingkat ini didasarkan pada informasi yang
diperoleh dari indera (sensori) dan dari tindakan atau gerakan tubuh (motor). Anak
mulai menggunakan imitasi (meniru), memori, dan pikiran. Mulai mengetahui bahwa
obyek tidak sirna ketika hilang (Anita E. Woolfolk, 2004). Pada tahapan
ini, anak mulai meniru tingkah laku orang lain meski yang ditiru sudah tidak
nampak lagi.
2.
Praoperasional
(2-7 tahun), masa kanak-kanak awal hingga masa sekolah dasar awal
Pada tahap ini
anak mulai mengalami perkembangan bahasa dan kemampuan untuk berpikir dengan
bentuk simbolis termasuk bahasa dan gambar. Anak menunjukkan kemampuannya
melakukan permainan simbolis. Misalnya, ia berpura-pura minum dari sebuah
cangkir mainan yang kosong atau menggerakkan balok kayu sambil menirukan bunyi
mobil seakan-akan balok itu adalah mobil. Dengan demikian, anak sudah
menggunakan memorinya tentang mobil dan menggunakan balok untuk mengekspresikan
pengetahuan itu.
Namun cara
berfikir anak masih sangat egosentris, bukan berarti mementingkan diri sendiri,
tetapi cenderung untuk melihat dunia dan pengalaman orang lain dari sudut
pandangnya sendiri, anak belum mampu mengambil persepsi orang lain. Baik secara
persepsi, emosional-motivasional dan konseptual. Anak dalam tahap perkembangan
kognitif praoperasional sulit untuk memahami konservasi angka, konservasi
volume zat padat dan cair, serta konsep tentang hidup (Slamet Suyanto,
2005).
Pada usia 4-5
tahun anak semakin menunjukkan kemampuannya untuk berbicara, terutama dengan
teman sebayanya. Di TK sering anak usia ini berkumpul dan bercakap-cakap
serius, kalau dicermati percakapan mereka lebih bersifat “kolektif monolog”.
Dalam mendidik
anak dalam tahap praoperasional ini, pendidik hendaknya:
a)
Menggunakan
alat-alat konkrit dan sarana visual kapanpun dimungkinkan, untuk
mengilustrasikan pelajaran dan membantu anak memahami apa yang anda bicarakan.
Contoh: demonstrasi fisik, gambar dan ilustrasi.
b)
Memberikan
banyak kesempatan untuk memiliki pengalaman atas dunia dalam upaya membangun
fondasi bagi konsep pembelajran dan bahasa. Contoh:
1.
Membuat banyak
perjalanan lapangan (keluar)
2.
Memberi mereka
kata-kata untuk mendesripsikan apa yang mereka lihat, lakukan, sentuh, rasakan
dan cium.
3.
Memberi
kesempatan untuk bermain dengan tanah, air, dan pasir (Anita E. Woolfolk,
2004)
c.
Konkret operasional (7-11 tahun), masa sekolah dasar
Pada tahap ini
anak sudah dapat memecahkan persoalan-persoalan sederhana yang bersifat
konkrit. Anak sudah dapat berfikir reversibel (berkebalikan), yaitu anak
dapat berpikir balik (dua arah). Sebagai contoh, kalau anak memahami 2+3=5,
maka ia akan tahu kalau 5-3=2 atau 5-2=3. Ia juga mengerti bahwa jumlah suatu
benda tidak berubah karena penataannya. Ia juga dapat memahami volume benda
padat atau cair tetap sama meskipun bentuk atau tempatnya berubah.
Anak sudah
dapat berpikir logis mengenai peristiwa-peristiwa yang kongkrit dan
mengklasifikasikan benda-benda kedalam bentuk-bentuk yang berbeda.
d.
Formal
operasional (11-15 tahun), masa sekolah menengah
Pada tahap ini
pikiran anak tidak lagi terbatas pada benda-benda dan kejadian yang terjadi di
depan matanya. Ia dapat menjumlahkan dan mengurangi angka dalam kepalanya
dengan operasi logis. (Slamet Suryanto, 2005). Pada tahap ini anak dapat
melakukan hal-hal berikut:
1.
Berpikir secara
hipotesis dan deduktif
2.
Berpikir secara
abstrak
3.
Mampu membuat
analogi
4.
Mampu mengevaluasi
cara berpikir (metacognition).
C.
Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson
Erik Homburger
Erikson yang terlahir dengan
nama Erik Salomonsen ( 15 Juni 1902 – 12 Mei 1994) adalah seorang pakar
psikologi perkembangan dan psikoanalis berkebangsaan Jerman, dikenal akan
teorinya akan perkembangan psikososial manusia. Erikson terlahir sebagai seorang anak keturunan ayah Jerman dan ibu Yahudi,
akan tetapi dia hanya mengenal ayah tirinya yang juga Yahudi. Sehingga ketika
kecil ia selalu diejek karena menjadi satu–satunya anak berambut pirang dan
bermata biru diantara lingkungan Yahudi, sementara di lingkungan sekolah yang
lebih umum ia justru selalu diejek sebagai seorang Yahudi. Selama hidupnya ia selalu berada dalam kebimbangan tentang identitas
dirinya sampai memutuskan untuk mengganti nama. Erikson adalah nama buatannya
sendiri yang ia tetapkan untuk menentukan identitas pribadinya.
Ketika sedang mengajar seni di sebuah sekolah di Wina, ia mendapati
sekolah tersebut mempraktekkan teori psikoanalisis dibawah pengawasan oleh
putri dari Sigmund Freud yaitu Anna Freud.
Anna melihat kepedulian Erikson kepada anak–anak, lalu menyarankan agar Erikson
mempelajari psikoanalisis di Institut Psikoanalisis Wina.
Disana dengan pengajaran para ahli, Erikson mempelajari spesialisasi tentang
analisa psikologi pada anak–anak dan mempelajari metode Montessori
dalam pendidikan yang menfokuskan pada perkembangan anak dan tingkatan
seksualnya.
Pada tahun 1933, Erikson dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat
dan menjadi ahli psikoanalis anak pertama di Boston. Ia mulai memperdalam
ketertarikannya pada psikoanalis dan mengembangkan hubungan antara psikologi
dan antropologi. Penelitian–penelitian yang ia lakukan kelak menjadi dasar dari
Teori Psikososial Erikson yang terkenal tersebut. Pada tahun 1950 ia
menerbitkan sebuah buku berjudul Childhood and Society. Erikson kemudian
melanjutkan penelitiannya pada anak–anak dan anak muda, ia mengembangkan suatu
konsep bahwa terjadinya krisis perasaan dan identitas tidak bisa diacuhkan pada
masa remaja. Ia masih menulis buku dan kembali mengajar di Harvard sampai
pensiun pada tahun 1970.
Teori
erik erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan
psiko-sosial. psikososial berkaitan dengan prinsip-prinsip perkembangan
psikologi dan sosial. Teori ini merupakan bentuk pengembangan dari teori
psikoseksual yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Salah satu elemen penting dari
teori tingkatan psikososial erikson adalah perkembangan persamaan ego.
Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi
sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah sesuai dengan
pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan
orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan
dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori
erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial. Erikson membagi tahapan
perkembangan psikososial menjadi delapan tahapan seperti berikut :
1. Tahap I usia
0-2 tahun (trust vs mistrust)
Pada masa bayi
atau tahun pertama adalah titik awal pembentukan kepribadian. Bayi belajar
mempercayai orang lain agar kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi. Peran ibu
atau orang-orang terdekat seperti pengasuh yang mampu menciptakan keakraban dan
kepedulian dapat mengembangkan kepercayaan dasar. Persepsi yang salah pada diri
anak tentang lingkungannya karena penolakan dari orangtua atau pengasuh
mengakibatkan bertumbuhnya perasaan tidak percaya sehingga anak memandang dunia
sekelilingnya sebagai tempat yang jahat (Slavin,2006). Shaffer (2005 : 135)
menyatakan bahwa pengasuh yang yang konsisten dalam merespon kebutuhan anak
akan menimbulkan rasa percaya anak kepada orang lain, sedangkan pengasuh yang
tidak responsif atau tidak konsisten akan membentuk anak menjadi seorang yang
penuh kecurigaan. Pada tahap ini kekuatan yang perlu ditumbuhkan pada
kepribadian anak ialah “harapan”.
2. Tahap II, usia
2-3 tahun (autonomy vs doubt)
Konflik yang
dialami anak pada tahap ini ialah otonomi vs rasa malu serta keragu-raguan. Kekuatan
yang seharusnya ditumbuhkan adalah “keinginan atau kehendak” dimana anak
belajar menjadi bebas untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi melalui motivasi untuk melakukan kepentingannya sendiri seperti
belajar makan atau berpakaian sendiri, berbicara, bergerak atau mendapat
jawaban dari sesuatu yang ditanyakan.
3. Tahap III, usia
3-6 tahun (initiative vs guilt)
Anak pada tahap
ini belajar menemukan keseimbangan antara kemampuan yang ada dalam dirinya
dengan harapan atau tujuannya. Itu sebabnya anak cenderung menguji kemampuannya
tanpa mengenal potensi yang ada pada dirinya. Konflik yang terjadi adalah
Inisiatif atau terbentuknya perasaan bersalah. Bila lingkungan sosial kurang
mendukung maka anak kurang memiliki inisiatif.
Erikson (dalam Shaffer, 2005) mengusulkan
bahwa anak usia 2-3 tahun berjuang untuk menjadi seorang yang independen atau
mandiri dengan mencoba melakukan hal-hal yang mereka butuhkan seperti makan dan
berjalan. Sementara 4-5 tahun dimana anak yang telah mencapai rasa otonomi
sekarang mereka memperoleh keterampilan baru, mencapai tujuan penting dan merasa
bangka dalam prestasi yang mereka capai. Anak-anak pra-sekolah sebagian besar
mendefinisikan diri mereka dalam kegiatan dan kemampuan fisik seperti “aku bisa
berlari dengan cepat, aku bisa menggambar bunga dll”.hal ini mencercerminkan
rasa inisiatif mereka untuk melakukan suatu kegiatan dan rasa inisiatif ini
sangat di butuhkan oleh seorang anak dalam menghadapi pelajaran-pelajran baru
yang akan ia pelajari di sekolah.
4. Tahap IV, usia
6-12 tahun (industry vs inferiority)
Konflik pada
tahap ini ialah kerja aktif vs rendah diri, itu sebabnya kekuatan yang perlu
ditumbuhkan ialah “kompetensi” atau terbentuknya berbagai keterampilan.
Membandingkan kemampuan diri sendiri dengan teman sebaya terjadi pada tahap
ini. Anak belajar mengenai ketrampilan sosial dan akademis melalui kompetisi
yang sehat dengan kelompoknya. Keberhasilan yang diraih anak memupuk rasa
percaya diri, sebaliknya apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah
inferioritas.
5. Tahap V, usia
12-20 tahun (identivy vs role confusion)
Pada tahap ini
anak mulai memasuki usia remaja dimana identitas diri baik dalam lingkup sosial
maupun dunia kerja mulai ditemukan. Bisa dikatakan masa remaja adalah awal
usaha pencarian diri sehingga anak berada pada tahap persimpangan antara masa
kanak-kanak dengan masa dewasa. Konflik utama yang terjadi ialah Identitas
vs Kekaburan Peran sehingga perlu komitmen yang jelas agar terbentuk
kepribadian yang mantap untuk dapat mengenali dirinya. Pertanyaan “siapa aku?”
menjadi penting dalam tahap ini. Seorang remaja akan melakukan banyak hal untu
menemukan jati diri mereka yang sebenarnya. Biasanya akan dimulai melalui
teman-temannya yang mempunyai kesamaan komitmen dalam sebuah kelompok.
6. Tahap VI, usia
antara 20-40 tahun (intimacy vs isolation)
Pada tahap ini
kekuatan dasar yang dibutuhkan ialah “kasih” karena muncul konflik antara
keintiman atau keakraban vs keterasingan atau kesendirian. Agen sosial pada
tahap ini ialah kekasih, suami atau isteri termasuk juga sahabat yang dapat
membangun suatu bentuk persahabatan sehingga tercipta rasa cinta dan
kebersamaan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka munculah perasaan
kesepian, kesendirian dan tidak berharga.
7. Tahap VII, usia
40-65 tahun (generativity vs self absorption)
Seseorang telah
menjadi dewasa pada tahap ini sehingga diperhadapkan kepada tugas utama untuk
menjadi produktif dalam bidang pekerjaannya serta tuntutan untuk berhasil
mendidik keluarga serta melatih generasi penerus. Konflik utama pada tahap ini
ialah generatifitas vs stagnasi, sehingga kekuatan dasar yang penting untuk
ditumbuhkan ialah “kepedulian”. Kegagalan pada masa ini menyebabkan stagnasi
atau keterhambatan perkembangan.
8. Tahap VIII,
usia 65 keatas (integrity vs despair)
Pribadi yang
sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan fungsi-fungsi kesehatan.
Begitu juga pengalaman masa lalu baik keberhasilan atau kegagalan menjadi
perhatiannya sehingga kebutuhannya adalah untuk dihargai. Konflik utama pada
tahap ini ialah Integritas Ego vs Keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu
dibentuk ialah pemunculan “hikmat atau kebijaksanaan”. Fungsi pengalaman hidup
terutama yang bersifat sosial, memberi makna tentang kehidupan.
D.
Kesimpulan
Perkembangan merupakan serangkaian perubahan yang progresif yang
terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman. Kognitif ialah proses yang
terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang
berpikir. Teori yang di susun dan dikembangkan oleh Jean Piaget (1973). Ia
membagi empat tahap perkembangan kognisi yaitu : sensoris, praoperasi, operasi
konkret, dan operasi formal.
Sementara perkembangan psikososial merupakan perkembangan yang
membahas tentang perkembangan kepribadian manusia. Teori Erik Erikson tentang
perkembangan manusia ini dikenal dengan teori psiko-sosial. Menurut Erikson,
perkembangan pisko-sosial terbagi ke dalam delapan fase yaitu : Trust Vs
Mistrust, Autonomy Vs Shame, Doubt Initiative Vs Guilt, Indutry Vs Inferiority,
Identity Vs Role Confusion, Intimacy Vs Isolation,
Generativity Vs Self Absorption, Integrity Vs Despair.
Daftar Pustaka
Suyanto,
Slamet. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jogjakarta: Hikayat. 2005.
E.
Woolfolk, Anita. Mengembangkan Kepribadian dan Kecerdasan (Psikologi Pembelajaran). Jakarta: Inisiasi Press,
2004.
Mujib,
abdul dan Jusuf Mudzakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002 .
Desmita.
Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005.
Krismawati, Yeni. (2014). Teori Psikologi Perkembangan Erik H.
Erikson dan Manfaatnya Bagi Tugas Pendidikan Kristen Dewasa
Ini. Jurnal Teologi dan Pendidikan
Agama Kristen Vol. 2, No. 1. 47-51, https://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios.
Monk, F.J., AMP
Knoers dan S.R. Hadinoto. Psikologi Perkembangan, yogyakarta : Gadjah
Mada University Press. 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar