Halaman

Minggu, 17 Maret 2019

Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja “Teori-Teori Psikologi Perkembangan : Kognitif Dan Psikososial”




A.            Pendahuluan
Setiap manusia pasti mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam fase kehidupannya. Perkembangan menurut Hurlock (1980) adalah serangkaian perubahan yang progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman. Secara biologis, prosesnya yaitu mempengaruhi peubahan pada fisik individu misalnya : gen yang di turunkan dari orang tua, tinggi badan, berat badan, prubahan hormon dll  pertumbuhan dan perkembangan tersebut antara lain perkembangan kognitif dan psikososial.
Perkembangan kognitif merupakan proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir. Perkembangan kognitif adalah perkembangan yang mendasar bagi manusia, karena perkembangan kognitif yang bertanggung jawab atas keberhasilan perkembangan psikososial agar kedua perkembangan ini dapat berjalan seiringan dan seimbang.
Beberapa definisi tentang perkembangan (development) dikemukakan oleh beberapa tokoh psikologi perkembangan. J.P.Chaplin mengartikan perkembangan sebagai :
a.  Perubahan yang berkesinambungan dan progresif  dari organisme, mulai lahir sampai mati,
b.  Pertumbuhan,
c.  Perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah kedalam bagian-bagian fungsional,
d.  kedewasaan atau kemunculan pola-pola dari tingkah laku yang tidak dipelajari (Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, 2002).
Menurut Reni Akbar Hawadi, perkembangan secara luas menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri yang baru. Sedangkan menurut F.J. Monks, pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali (Desmita, 2005)
Secara umum, menurut mussen, conger dan kagan yang dikutip anita e.woolfolk perkembangan adalah perubahan-perubahan tertentu yang muncul pada diri manusia (atau binatang) diantara konsepsi (pembuahan) dan mati. Perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan pada masa awal kehidupan, diasumsikan menuju (hal yang) lebih baik dan menghasilkan perilaku yang lebih adaptif, lebih teratur, lebih efektif, lebih kompleks, dan tingkat yang lebih tinggi (Anita E. Woolfolk, 2004)
Dari beberapa pengertian diatas dapat penulis simpulkan secara umum bahwa perkembangan adalah proses perubahan dalam diri individu yang berlangsung secara terus menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah menuju kedewasaan.
Perubahan dalam diri manusia terdiri atas perubahan kualitatif akibat dari perubahan psikis, dan perubahan kuantitatif akibat dari perubahan fisik. Perubahan kualitatif disebut perkembangan, seperti perubahan dari tidak mengetahui menjadi mengetahui dan dari kekanak-kanakan menjadi dewasa. Sedangkan perubahan kuantitatif disebut dengan pertumbuhan, seperti perubahan tinggi dan berat badan (Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, 2002).
Jadi perkembangan tidak ditentukan dari segi material sebagaimana pada pertumbuhan, tetapi dilihat dari segi fungsi-fungsi. Perubahan kualitatif dari segi fungsi disebabkan oleh adanya proses pertumbuhan material yang memungkinkan adanya fungsi dan disebabkan oleh karena adanya perubahan tingkah laku akibat dari pengalaman dan belajar.





B.            Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Piaget adalah seorang ahli psikologi perkembangan, ia mempelajari bagaimana pengetahuan dan kompetensi diperoleh sebagai konsekuensi pertumbuhan dan interaksi dengan lingkungan fisik dan sosial (Dahar, 2006: 131). Piaget terkenal dengan teori perkembangan mental manusia atau teori perkembangan kognitif. Teori Piaget sesuai dengan konstruktivisme yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana peserta didik secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman nyata menggunakan pengalaman dan interaksi yang dimiliki (Trianto, 2011: 14).
Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi. Walaupun proses berfikir dalam konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalaman dengan dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia punya.
Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau periode-periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invarian, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta adanya pengorganisasian struktur berfikir. Sebagai seorang yang memperoleh pendidikan dasar dalam bidang eksakta, yaitu biologis, maka pendekatan dan uraian dari teorinya terpengaruh aspek biologi.
Teori Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini yang menekankan pada proses mental. Piaget mengambil perspektif organismik, yang memandang perkembangan kognitif sebagai produk usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka. Menurut Piaget, bahwa perkembangan kognitif dimulai dengan kemampuan bawaan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan kemampuan bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget mengamati bayi-bayi mewarisi reflek-reflek seperti reflek menghisap. Reflek ini sangat penting dalam bulan-bulan pertama kehidupan mereka, namun semakin berkurang signifikansinya pada perkembangan selanjutnya. Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses yang saling berhubungan, yaitu:
1.        Organisasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk mengintegrasikan pengetahuan kedalam system-sistem. Dengan kata lain, organisasi adalah system pengetahuan atau cara berfikir yang disertai dengan pencitraan realitas yang semakin akurat. Contoh: anak laki-laki yang baru berumur 4 bulan mampu untuk menatap dan menggenggam objek. Setelah itu dia berusaha mengkombunasikan dua kegiatan ini (menatap dan menggenggam) dengan menggenggam objek-objek yang dilihatnya.
Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki kecenderungan untuk membuat struktur kognitif menjadi semakin komplek. Struktur-struktur kognitif disebut skema. Skema adalah pola prilaku terorganisir yang digunakan seseorang untuk memikirkan dan melakukan tindakan dalam situasi tertentu. Contoh: gerakan reflek menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan bibir yang menimbulkan gerakan menarik.
2.              Adaptasi.
Merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi baru dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
a.  Asimilasi, yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah lingkungan guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri. Contoh asimilasi kognitif: seorang anak yang diperlihatkan segi tiga sama sisi, kemudian setelah itu diperlihatkan segitiga yang lain yaitu siku-siku. Asimilasi terjadi jika si anak menjawab bahwa segitiga siku-siku yang diperlihatkan adalah segitiga sama sisi.
b.  Akomodasi, yaitu kecenderungan organism untuk merubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan sekelilingnya.. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru. Melalui akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah ada dalam diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan rangsangan-rangsangan dari objeknya. Contoh: si anak bisa menjawab segitiga siku-siku pada segitiga yang diperlihatkan kedua.
                      Hubungan antara asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut seperti yang telah dikemukakan ialah komplementer. Dalam setiap tingkah laku organism dapat ditemukan aspek asimilasi dan akomodasi. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku  meraih pada anak bayi.
                      Tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sensorimotor, praoperasional, operasional konkrit dan operasional formal yaitu :
1.              Sensorimotor (0-2 tahun), bayi atau balita
Pada tahap ini anak lebih banyak menggunakan gerak refleks dan inderanya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Perkembangan pada tingkat ini didasarkan pada informasi yang diperoleh dari indera (sensori) dan dari tindakan atau gerakan tubuh (motor). Anak mulai menggunakan imitasi (meniru), memori, dan pikiran. Mulai mengetahui bahwa obyek tidak sirna ketika hilang (Anita E. Woolfolk, 2004). Pada tahapan ini, anak mulai meniru tingkah laku orang lain meski yang ditiru sudah tidak nampak lagi.

2.              Praoperasional (2-7 tahun), masa kanak-kanak awal hingga masa sekolah dasar awal
Pada tahap ini anak mulai mengalami perkembangan bahasa dan kemampuan untuk berpikir dengan bentuk simbolis termasuk bahasa dan gambar. Anak menunjukkan kemampuannya melakukan permainan simbolis. Misalnya, ia berpura-pura minum dari sebuah cangkir mainan yang kosong atau menggerakkan balok kayu sambil menirukan bunyi mobil seakan-akan balok itu adalah mobil. Dengan demikian, anak sudah menggunakan memorinya tentang mobil dan menggunakan balok untuk mengekspresikan pengetahuan itu.
Namun cara berfikir anak masih sangat egosentris, bukan berarti mementingkan diri sendiri, tetapi cenderung untuk melihat dunia dan pengalaman orang lain dari sudut pandangnya sendiri, anak belum mampu mengambil persepsi orang lain. Baik secara persepsi, emosional-motivasional dan konseptual. Anak dalam tahap perkembangan kognitif praoperasional sulit untuk memahami konservasi angka, konservasi volume zat padat dan cair, serta konsep tentang hidup (Slamet Suyanto, 2005).
Pada usia 4-5 tahun anak semakin menunjukkan kemampuannya untuk berbicara, terutama dengan teman sebayanya. Di TK sering anak usia ini berkumpul dan bercakap-cakap serius, kalau dicermati percakapan mereka lebih bersifat “kolektif monolog”.
Dalam mendidik anak dalam tahap praoperasional ini, pendidik hendaknya:
a)  Menggunakan alat-alat konkrit dan sarana visual kapanpun dimungkinkan, untuk mengilustrasikan pelajaran dan membantu anak memahami apa yang anda bicarakan. Contoh: demonstrasi fisik, gambar dan ilustrasi.
b) Memberikan banyak kesempatan untuk memiliki pengalaman atas dunia dalam upaya membangun fondasi bagi konsep pembelajran dan bahasa. Contoh:
1.              Membuat banyak perjalanan lapangan (keluar)
2.              Memberi mereka kata-kata untuk mendesripsikan apa yang mereka lihat, lakukan, sentuh, rasakan dan cium.
3.              Memberi kesempatan untuk bermain dengan tanah, air, dan pasir (Anita E. Woolfolk, 2004)
c.        Konkret  operasional (7-11 tahun), masa sekolah dasar
Pada tahap ini anak sudah dapat memecahkan persoalan-persoalan sederhana yang bersifat konkrit. Anak sudah dapat berfikir reversibel (berkebalikan), yaitu anak dapat berpikir balik (dua arah). Sebagai contoh, kalau anak memahami 2+3=5, maka ia akan tahu kalau 5-3=2 atau 5-2=3. Ia juga mengerti bahwa jumlah suatu benda tidak berubah karena penataannya. Ia juga dapat memahami volume benda padat atau cair tetap sama meskipun bentuk atau tempatnya berubah.
Anak sudah dapat berpikir logis mengenai peristiwa-peristiwa yang kongkrit dan mengklasifikasikan benda-benda kedalam bentuk-bentuk yang berbeda.
d.       Formal operasional (11-15 tahun), masa sekolah menengah
Pada tahap ini pikiran anak tidak lagi terbatas pada benda-benda dan kejadian yang terjadi di depan matanya. Ia dapat menjumlahkan dan mengurangi angka dalam kepalanya dengan operasi logis. (Slamet Suryanto, 2005). Pada tahap ini anak dapat melakukan hal-hal berikut:
1.              Berpikir secara hipotesis dan deduktif
2.              Berpikir secara abstrak
3.              Mampu membuat analogi
4.              Mampu mengevaluasi cara berpikir (metacognition).

C.            Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson
Erik Homburger Erikson yang terlahir dengan nama Erik Salomonsen ( 15 Juni 1902 – 12 Mei 1994) adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan psikoanalis berkebangsaan Jerman, dikenal akan teorinya akan perkembangan psikososial manusia. Erikson terlahir sebagai seorang anak keturunan ayah Jerman dan ibu Yahudi, akan tetapi dia hanya mengenal ayah tirinya yang juga Yahudi. Sehingga ketika kecil ia selalu diejek karena menjadi satu–satunya anak berambut pirang dan bermata biru diantara lingkungan Yahudi, sementara di lingkungan sekolah yang lebih umum ia justru selalu diejek sebagai seorang Yahudi. Selama hidupnya ia selalu berada dalam kebimbangan tentang identitas dirinya sampai memutuskan untuk mengganti nama. Erikson adalah nama buatannya sendiri yang ia tetapkan untuk menentukan identitas pribadinya.
Ketika sedang mengajar seni di sebuah sekolah di Wina, ia mendapati sekolah tersebut mempraktekkan teori psikoanalisis dibawah pengawasan oleh putri dari Sigmund Freud yaitu Anna Freud. Anna melihat kepedulian Erikson kepada anak–anak, lalu menyarankan agar Erikson mempelajari psikoanalisis di Institut Psikoanalisis Wina. Disana dengan pengajaran para ahli, Erikson mempelajari spesialisasi tentang analisa psikologi pada anak–anak dan mempelajari metode Montessori dalam pendidikan yang menfokuskan pada perkembangan anak dan tingkatan seksualnya.
Pada tahun 1933, Erikson dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat dan menjadi ahli psikoanalis anak pertama di Boston. Ia mulai memperdalam ketertarikannya pada psikoanalis dan mengembangkan hubungan antara psikologi dan antropologi. Penelitian–penelitian yang ia lakukan kelak menjadi dasar dari Teori Psikososial Erikson yang terkenal tersebut. Pada tahun 1950 ia menerbitkan sebuah buku berjudul Childhood and Society. Erikson kemudian melanjutkan penelitiannya pada anak–anak dan anak muda, ia mengembangkan suatu konsep bahwa terjadinya krisis perasaan dan identitas tidak bisa diacuhkan pada masa remaja. Ia masih menulis buku dan kembali mengajar di Harvard sampai pensiun pada tahun 1970.
                      Teori erik erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. psikososial berkaitan dengan prinsip-prinsip perkembangan psikologi dan sosial. Teori ini merupakan bentuk pengembangan dari teori psikoseksual yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah sesuai dengan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial. Erikson membagi tahapan perkembangan psikososial menjadi delapan tahapan seperti berikut :

1.  Tahap I usia 0-2 tahun (trust vs mistrust)
    Pada masa bayi atau tahun pertama adalah titik awal pembentukan kepribadian. Bayi belajar mempercayai orang lain agar kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi. Peran ibu atau orang-orang terdekat seperti pengasuh yang mampu menciptakan keakraban dan kepedulian dapat mengembangkan kepercayaan dasar. Persepsi yang salah pada diri anak tentang lingkungannya karena penolakan dari orangtua atau pengasuh mengakibatkan bertumbuhnya perasaan tidak percaya sehingga anak memandang dunia sekelilingnya sebagai tempat yang jahat (Slavin,2006). Shaffer (2005 : 135) menyatakan bahwa pengasuh yang yang konsisten dalam merespon kebutuhan anak akan menimbulkan rasa percaya anak kepada orang lain, sedangkan pengasuh yang tidak responsif atau tidak konsisten akan membentuk anak menjadi seorang yang penuh kecurigaan. Pada tahap ini kekuatan yang perlu ditumbuhkan pada kepribadian anak ialah “harapan”.
2.  Tahap II, usia 2-3 tahun (autonomy vs doubt)
    Konflik yang dialami anak pada tahap ini ialah otonomi vs rasa malu serta keragu-raguan. Kekuatan yang seharusnya ditumbuhkan adalah “keinginan atau kehendak” dimana anak belajar menjadi bebas untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui motivasi untuk melakukan kepentingannya sendiri seperti belajar makan atau berpakaian sendiri, berbicara, bergerak atau mendapat jawaban dari sesuatu yang ditanyakan.
3.  Tahap III, usia 3-6 tahun (initiative vs guilt)
    Anak pada tahap ini belajar menemukan keseimbangan antara kemampuan yang ada dalam dirinya dengan harapan atau tujuannya. Itu sebabnya anak cenderung menguji kemampuannya tanpa mengenal potensi yang ada pada dirinya. Konflik yang terjadi adalah Inisiatif atau terbentuknya perasaan bersalah. Bila lingkungan sosial kurang mendukung maka anak kurang memiliki inisiatif.
Erikson (dalam Shaffer, 2005) mengusulkan bahwa anak usia 2-3 tahun berjuang untuk menjadi seorang yang independen atau mandiri dengan mencoba melakukan hal-hal yang mereka butuhkan seperti makan dan berjalan. Sementara 4-5 tahun dimana anak yang telah mencapai rasa otonomi sekarang mereka memperoleh keterampilan baru, mencapai tujuan penting dan merasa bangka dalam prestasi yang mereka capai. Anak-anak pra-sekolah sebagian besar mendefinisikan diri mereka dalam kegiatan dan kemampuan fisik seperti “aku bisa berlari dengan cepat, aku bisa menggambar bunga dll”.hal ini mencercerminkan rasa inisiatif mereka untuk melakukan suatu kegiatan dan rasa inisiatif ini sangat di butuhkan oleh seorang anak dalam menghadapi pelajaran-pelajran baru yang akan ia pelajari di sekolah.


4.  Tahap IV, usia 6-12 tahun (industry vs inferiority)
    Konflik pada tahap ini ialah kerja aktif vs rendah diri, itu sebabnya kekuatan yang perlu ditumbuhkan ialah “kompetensi” atau terbentuknya berbagai keterampilan. Membandingkan kemampuan diri sendiri dengan teman sebaya terjadi pada tahap ini. Anak belajar mengenai ketrampilan sosial dan akademis melalui kompetisi yang sehat dengan kelompoknya. Keberhasilan yang diraih anak memupuk rasa percaya diri, sebaliknya apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah inferioritas.
5.  Tahap V, usia 12-20 tahun (identivy vs role confusion)
    Pada tahap ini anak mulai memasuki usia remaja dimana identitas diri baik dalam lingkup sosial maupun dunia kerja mulai ditemukan. Bisa dikatakan masa remaja adalah awal usaha pencarian diri sehingga anak berada pada tahap persimpangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Konflik utama yang terjadi ialah Identitas vs Kekaburan Peran sehingga perlu komitmen yang jelas agar terbentuk kepribadian yang mantap untuk dapat mengenali dirinya. Pertanyaan “siapa aku?” menjadi penting dalam tahap ini. Seorang remaja akan melakukan banyak hal untu menemukan jati diri mereka yang sebenarnya. Biasanya akan dimulai melalui teman-temannya yang mempunyai kesamaan komitmen dalam sebuah kelompok.
6.  Tahap VI, usia antara 20-40 tahun (intimacy vs isolation)
    Pada tahap ini kekuatan dasar yang dibutuhkan ialah “kasih” karena muncul konflik antara keintiman atau keakraban vs keterasingan atau kesendirian. Agen sosial pada tahap ini ialah kekasih, suami atau isteri termasuk juga sahabat yang dapat membangun suatu bentuk persahabatan sehingga tercipta rasa cinta dan kebersamaan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka munculah perasaan kesepian, kesendirian dan tidak berharga.


7.  Tahap VII, usia 40-65 tahun (generativity vs self absorption)
    Seseorang telah menjadi dewasa pada tahap ini sehingga diperhadapkan kepada tugas utama untuk menjadi produktif dalam bidang pekerjaannya serta tuntutan untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih generasi penerus. Konflik utama pada tahap ini ialah generatifitas vs stagnasi, sehingga kekuatan dasar yang penting untuk ditumbuhkan ialah “kepedulian”. Kegagalan pada masa ini menyebabkan stagnasi atau keterhambatan perkembangan.
8.  Tahap VIII, usia 65 keatas (integrity vs despair)
    Pribadi yang sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan fungsi-fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik keberhasilan atau kegagalan menjadi perhatiannya sehingga kebutuhannya adalah untuk dihargai. Konflik utama pada tahap ini ialah Integritas Ego vs Keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu dibentuk ialah pemunculan “hikmat atau kebijaksanaan”. Fungsi pengalaman hidup terutama yang bersifat sosial, memberi makna tentang kehidupan.

D.            Kesimpulan
Perkembangan merupakan serangkaian perubahan yang progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman. Kognitif ialah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir. Teori yang di susun dan dikembangkan oleh Jean Piaget (1973). Ia membagi empat tahap perkembangan kognisi yaitu : sensoris, praoperasi, operasi konkret, dan operasi formal.
Sementara perkembangan psikososial merupakan perkembangan yang membahas tentang perkembangan kepribadian manusia. Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia ini dikenal dengan teori psiko-sosial. Menurut Erikson, perkembangan pisko-sosial terbagi ke dalam delapan fase yaitu : Trust Vs Mistrust, Autonomy Vs Shame, Doubt Initiative Vs Guilt, Indutry Vs Inferiority, Identity Vs Role Confusion, Intimacy Vs Isolation, Generativity Vs Self Absorption, Integrity Vs Despair.

























Daftar Pustaka

Suyanto, Slamet. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jogjakarta: Hikayat.  2005.
E. Woolfolk, Anita. Mengembangkan Kepribadian dan Kecerdasan (Psikologi     Pembelajaran). Jakarta: Inisiasi Press, 2004.
Mujib, abdul dan Jusuf Mudzakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT   Raja Grafindo Persada. 2002 .
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005.
Krismawati, Yeni. (2014). Teori Psikologi Perkembangan Erik H. Erikson dan Manfaatnya Bagi Tugas Pendidikan Kristen Dewasa Ini. Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol. 2, No. 1. 47-51, https://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios.
Monk, F.J., AMP Knoers dan S.R. Hadinoto. Psikologi Perkembangan, yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar