Halaman

Minggu, 17 Maret 2019

Konsep Konflik, Stres, Trauma, Frustasi


MAKALAH KESEHATAN MENTAL
Konsep Konflik, Stres, Trauma, Frustasi


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Konsep Konflik, Stres, Trauma, Frustasi” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental dari dosen pengampu ibu Umi Nur Kholifah, M.Psi, Psikolog . Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan atau petunjuk maupun pedoman bagi yang membaca makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan hati terbuka agar dapat meningkatkan kualitas makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.



Palembang, 05 September 2018

Penyusun

Kelompok 3



BAB I
PENDAHULUAN
A.                 Latar Belakang
Kesehatan mental menurut seorang ahli kesehatan Merriam Webster , merupakan suatu keadaan emosional dan psikologis yang baik, dimana individu dapat memanfaatkan kemampuan kognitif dan emosinya, berfungsi dalam sosial dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.kondisi kesehatan mental tiap orang berbeda-beda tidak bisa disamaratakan. Setiap individu memiliki kebutuhannya masing-masing dan untuk mencapai kebutuhan ataupun tujuan dengan optimal diperlukan mental yang baik dan sehat. Hal terbaik untuk mempertahankan mental yang sehat adalah dengan selalu berpikir positif.
Kesehatan mental adalah faktor yang memiliki peranan besar yang dapat menentukan kehidupan seseorang itu sejahtera atau dipenuhi rasa sakit, kita bisa mempertahankan kesehatan mental dan dapat mencegah berbagai penyakit yang disebabkan oleh penyakit mental . Misalnya, karena stress tidak hanya berdampak negatif terhadap fisik juga berdampak pada psikologis seseorang. Pada makalah ini juga akan dijabarkan gejala dari konflik,stress,trauma dan frustasi sehingga dapat dievaluasi dan didapatkan pencegahan yang efektif untuk mencegah konflik,stress,trauma dan frustasi.
B.                 Rumusan Masalah
1)                  Sebutkan teori-teori konflik, stress, trauma dan frustasi ?
2)                  Jelaskan definisi dari konflik, stress, trauma serta frustasi ?
3)                  Bagaimana gejala-gejala dari konflik, stress, trauma serta frustasi ?
C.                 Tujuan Penulisan
1.                   Penulisan makalah yang bertemakan konsep konflik, stress, trauma serta frustasi bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental yang dberikan oleh Dosen Pengampu
2.                   Untuk mengetahui apa saja teori teori yang  dikemukakan, definisi serta gejala dari konflik, stress, trauma dan frustasi















BAB II
PEMBAHASAN

A.       Teori Konflik, Stress, Trauma, Frustasi
1.         Konflik
Konflik adalah tegangan dalam diri kita apabila kita berusaha mencapai keputusan yang memuaskan terhadap situasi-situasi yang sama menariknya atau juga situasi-situasi yang sama tidak menariknya. Atau dapat juga dikatakan bahwa konflik merupakan keadaan jiwa yang tegang sebagai akibat dari bentrokan antara motivasi-motivasi yang bertentangan.
Apa yang telah dipelajari individu, pengalaman-pengalaman yang dimilikinya, kebiasaan-kebiasaan penyesuaian diri yang telah terbentuk merupakan bekal atau perlengkapan yang dipakai untuk melawan konflik. Hal ini mengakibatkan situasi-situasi tertentu akan menimbulkan konflik bagi beberapa orang sedangkan dengan situasi yang sama tidak menjadikan hal tersebut sebagai konflik bagi beberapa orang lainnya. Konflik-konflik tersebut biasanya berkahir dengan frustasi dan banyak tegangan yang diakibatkannya menjadi faktor-faktor dinamika yang berfungsi sebagai faktor yang langsung menentukan penyesuaian diri dan kesehatan mental seseorang.
Psikoanalis menekankan pentingnya konflik-konflik bagi kehidupan individu. Kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam konflik itu disebut id, ego, dan superego. Menurut Freud, Id tidak memiliki organisasi dan kesatuan kemauan, ia hanya memiliki impuls untuk mencapai kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan instingtif sesuai dengan prinsip kenikmatan. Id tidak mengetahui nilai, yang baik, buruk, serta moralitas. Sebaliknya, superego didefinisikan Freud sebagai wakil dari semua larangan moral, penyokong impuls ke arah kesempurnaan.[1]
Id dan superego selalu berperang. Akibatnya pasti akan terjadi bencana kalau tidak ada ego yang bertindak sebagai perantara.
Sigmund Freud mengatakan :
“Setiap gerakannya diawasi oleh superego yang keras itu yang menghambat norma-norma tingkah laku tertentu, tanpa memperhatikan beberapa kesulitan yang berasa dari id dan dunia luar; dan apabila norma-norma ini tidak diikuti, maka ia menghukum ego dengan perasaan tegang yang menampakkan diri sebagai perasaan rendah diri dan perasaan bersalah. Dengan demikian karena didorong terus oleh id, dikepung oleh superego, dan ditolak oleh kenyataan, maka ego berjuang untuk melakukan tugas ekonomisnya dalam mereduksikan kekuatan-kekuatan dan pengaruh-pengaruh yang bekerja di dalamnya dan terhadapnya supaya tercapai semacam keselarasan; dan kta tidak dapat memahami dengan baik apa sebabnya kita begitu sering tidak dapat menahan keluhan: “Hidup tidak mudah”. Apabila ego terpaksa mengakui kelemahannya, maka ia mendapat kecemasan; kecemasan terhadap kenyataan dalam berhadapan dengan dunia luar, kecemasan moral dalam berhadapan dengan superego, dan kecemasan neurotik dalam berhadapan dengan nafsu-nafsu dari id[2]

2.    Stres
Stres adalah tekanan luar yang megharuskan kita memberikan reaksi, baik secara mental maupun fisik. Stres bersifat mental misalnya paduan dari beberapa hal seperti masalah keuangan, pekerjaan, emosional, perkawinan, dan masalah dalam keluarga lainnya. Yang bersifat fisik misalnya pekerjaan yang terlalu menuntut, meletihkan, atau pekerjaan yang berulang-ulang.
Kebanyakan yang terjadi di lapangan, hasil yang ditimbulkan akibat stres adalah tekanan darah yang menjadi lebih tinggi dari biasanya. Inilah yang disebut orang-orang dengan darah tinggi akibat stres.
Orang yang terkena stres mungkin akan memperlihatkan tekanan darah yang agak lebih tinggi dari biasanya, namun hal ini tidak berlangsung lama atau permanen meskipun sres tetap ada.
Pada tahun 1939, Dr. Franz Alexander, seorang peneliti Amerika dalam kedokteran psikosomatik, mengemukakan bahwa orang yang mengidap tekanan darah tinggi mempunyai kecendrungan permusuhan yang kuat yang mereka tekan dan bergejolak di dalam batin, dan tidak terungkapkan secara lahiriah.
Menurut Dr. Alexander, ungkapan kemarahan secara batiniah ini menyebabkan meningkatnya tekanan darah menjadi permanen. Orang berpendapat bahwa hal ini hanya berlaku mungkin untuk beberapa penderita hipertensi, dan sebagian terbesar mempunyai ciri kepribadian yang kurang lebih sama seperti kebanyakan orang.[3]
Akan tetapi, contoh dari reaksi yang berbeda terhadap stres pada orang yang mempunyai tekanan darah tinggi benar-benar memperlihatkan bahwa sekali anda hipertensi, anda cenderung memberikan reaksi yang berbeda terhadap stres.
Dr. M. Esler dan rekannya mengamati bahwa pasien yang tekanan darah tingginya berkaitan dengan rasa permusuhan yang ditekan mempunyai kadar zat kimia yang diketahui meninggikan tekanan darah, nor-adrenalin dan renin, yang lebih tinggi daripada biasanya di dalam darah nya. [4] Kemarahan yang ditekan menyebabkan produksi nor-adrenalin dan renin lebih tinggi, dan kemudian kedua zat kimia tersebut menyebabkan tekanan darah tinggi. Dengan membujuk pasien untuk tidak bereaksi dengan kemarahan atau agar tidak menekannya, dapat mencegah peningkatan tekanan darah.
Bila tubuh menjadi stres, beberapa hormon di dalam tubuh dipompakan secara berlebihan ke dalam sistem tubuh. Ini berarti bahwa gula darah di dalam sistem itu ditingkatkan. Kalau stres berlangsung lama, akan mengakibatkan meningkatnya kadar gula dalam darah sehingga lambat laun akan menyebabkan diabetes dan ateroskleorosis.[5]
Cara-cara mengatasi stres
·                     Menghadapi diri anda sendiri dengan penuh keberanian
Jikaanda mengidap tekanan darah tinggi, cobalah untuk melakukan tinjauan objektif terhadap kepribadian anda sendiri, gaya hidup, kecemasan dan ketakutan anda, bagaimana anda menanggapinya.
Tujuan dari tinjauan seperti itu bukan untuk belajar bagaimana menghindari stres melainkan untuk mengetahui bagaimana anda menghadapi stres yang anda jumpai dalam lingkungan anda dengan penuh keberanian.
Selain dari tekanan darah yang meningkat, depresi juga merupakan hasil yang bisa ditimbulkan akibat adanya stres. Reaksi terhadap stres sering kali ditangguhkan dan depresi dapat terjadi beberapa bulan sesudah peristiwa itu terjadi. Riset telah memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian dalam hidup yang buruk cenderung menumpuk dalam 6-12 bulan sebelum depresi mulai terjadi.
Menurut Beck, ada beberapa kondisi yang dapat mencetuskan depresi :
1.                   Stres yang spesifikk yaitu kondisi atau peristiwa yang memiliki persamaan dengan pengalaman traumatik individu pada masa lalu.
2.                   Stres nonspesifik
3.                   Faktor-faktor lain yang memberi arah merupakan faktor di luar ke dua faktor di atas namun tetap mampu menimbulkan depresi. Faktor-faktor tersebut tidak dapat diidentifikasikan secara khusus. Tetapi Beck menyebutkan salah satunya adalah ketegangan psikologis

3.         Trauma
4.         Frustasi
Frustasi adalah suatu perasaan yang muncul karena terjadinya hambatan dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginan untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan itu[6]. Secara sederhananya, frustasi adala rintangan atau gangguan dalam usaha mencapai tujuan.
Perasaan frustasi merupakan pengalaman yang individual.[7] Ini disebabkan karena, apa yang menyebabkan seseorang menjadi frustasi, belum tentu orang lain juga akan mengalami frustasi dengan penyebab yang sama.
Ada dua sumber utama penyebab frustasi yaitu sumber yang berasal dari luar dan sumber yang berasal dari dari dalam.[8] Sumber dari luar dapat berupa situasi-situasi atau keadaan luar. Sedangkan sumber yang berasal dari dalam bisa jadi disebabkan oleh faktor-faktor fisik dan perbedaan-perbedaan intelektual. Faktor-faktor fisik dapat berupa penyakit. Misalnya saja seseorang yang berbeda fisik dengan orang lain maka bisa saja ia terkena beberapa bentuk frustasi. Frustasi yang disebabkan karena perbedaan intelektual misalnya seseorang yang kecewa karena merasa tidak mampu bersaing dengan teman sekelasnya.
Orang-orang memberikan respons yang berbeda-beda dalam menghadapi frustasi. Misalnya saja ada dua siswa yang berusaha memecahkan soal matematika. Salah satu siswa tersebut mungkin melemparkan pensilnya karena kesal tak kunjung menemukan jawaban sedangkan siswa satunya tetap berusaha unttukmencari jawaban dari soal matematika tersebut. Meskipun mengerjakan soal matematika tidak dilakukan seseorangsetiap saat, atau lebih tepatnya mengerjakan soal matematika adalah bentuk situasi sementara, namun bila pendekatan-pendekatan yang digunakan selalu sama akan memberi ciri tersendiri bagi tingkah laku seseorang tersebut di masa yang akan datang.[9]
Hipotesis Frustasi-Agresi
Dollard dengan kawan-kawannya mengemukakan dalil sebagai berikut :
“...terjadinya tingkah laku yang agresif selalu mengandalkan adanya frustasi dan sebaliknya adanya frustasi selalu menyebabkan suatu bentuk  agresi. Dari observasi sehari-hari rupanya masuk akal bila dikatakan bahwa tingkah laku agresif dengan berbagai macam bentuk yang biasanya dkenal selalu dapat ditelusuri dan disebabkan oleh suatu bentuk frustasi. Tetapi tidak begitu segera kelihatan bahwa bilamana saja terjadi frustasi maka tidak bisa tidak akan terjadi agresi dengan macam dan tingkat tertentu. Pada banyak orang dewasa dan bahkan anak-anak, frustasi mungkin diikut oleh sikap yang jelas dan begitu cepat menerima situasi dan dapat menyesuaikan diri kembali sehingga orang sia-sia mencari kriteria yang relatif. Tetapi harus diingat bahwa salah satu pelajaran paling awal yang dipelajari manusia sebagai akibat dari kehidupan sosial adalah menekan dan menahan reaksi-reaksi yang terang-terangan agresif. Tetapi ini tidak berarti bahwa kecendrungan-kecendrungan reaksi seperti itu tidak dilenyapkan meskipun untuk sementara ditekan, ditunda, disembunyikan, dipindahkan atau dibelokkan dari tujuannya yang langsung dan logis.”[10]
Agresi langsung adalah cara yang normal yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan harga dirinya apabila sedang mengalami frustasi.[11]Misalnya saja seorang anak yang sering diolok-olok teman-temannya di sekolah, adalah hal wajar bila ia berusaha mempertahankan statusnya dengan mendorong temannya. Untuk beberapa anak yang tidak berani melakukan tindakan langsung seperti itu, maka bisa saja kefrustasian yang didapatkannya di sekolah akan dilampiaskannya di rumah.
Dalam membahas tentang kekerasan dalam tingkah laku manusia, Berkowitz berpendapat bahwa,”kemarahan dan kebiasaan-kebiasaan yang dipelajari masing-masing secara terpisah atau bersama-sama menciptakan suatu kesiapan untuk bertindak dengan cara yang bermusuhan”, tetapi apabila tingkah laku yang bermusuhan benar-benar terjadi  maka pasti ada ssuatu mengenai situasi sekarang yang membangkitkan “dorongan kemarahan sekarang atau masa lampau”[12]
Berkowitz berpendapat bahwa orang yang pada saat sekarang megungkapkan kemarahan kepada seseorang atau sesuatu dengan tujuan supaya dirinya merasa lebih baik, tidak berarti pada saat yang akan datang kemarahan tersebut tidak terulang lagi diungkapkan kepada objek yang sama. Sesungguhnya tindakan agresif mungkin sangat membantu dalam menguatkan suatu kebiasaan agresi.
Apabila agresi diarahkan kepada diri sendiri, maka akan lebih berbahaya bagi kesehatan mental indvidu dibandingkan bila agresi tersebut dilampiaskan ke-ada objek luar tertentu. Agresi terhadap diri sendiri dapat dilakukan secara ekstrem sehingga mengakibatkan kerusakan pada dirinya secara psikologis, misalnya saja psikosis skizofrenia atau bahkan dapat melakukan tindakan bunuh diri.
Toleran terhadap frustasi
Menurut Lehner dan kupe, toleran terhadap frustasi merupakan kemampuan individu untuk menahan penundaan, rintangan, atau konflik tanpa menggunakan tingkah laku yang tidak dapat menyesuaikan diri atau menderita disorganisasi kepribadian.[13]
Selain berbeda-beda dalam merespons frustasi, kita juga melakukan tindakan yang berbeda-beda dalam memberikan toleransi terhadap frustasi.untuk memahami perbedaan-perbedaan individual dalam toleransi terhadap frustasi, kita perlu mempertimbangkan hubungan anatara peristiwa dan orangnya karena peristiwa yang sama bisa saja mengandung arti yang berbeda bagi orang lain.

B.        Definisi konflik, Stress, Trauma, Frustasi
1.         Definisi konflik
Konflik adalah pilihan kebutuhan dan tekanan. Conflict adalah perlawanan antara impuls yang saling bertentangan atau keinginan yang saling bertentangan, biasanya mengakibatkan ketegangan emosi. Menurut teori psikoanalisa, konflik sendiri bisa mengakibatkan tekanan (repression) yang bisa menyebabkan seseorang menutup memori dan menjadi pelupa. [14]
2.         Definisi stress
Stress adalah suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun secara psikologis[15]. Stress dibagi menjadi 2 yaitu :
·                     Stress yang baik (Eustress) , yaitu stress yang membuat anda nyaman seperti bertem dengan teman lama atau kerabat dekat yang sudah lama tidak ditemui.
·                     Stress yang buruk ( Distress), yaitu kebalikan dari eustress. Stress yang burk inilah yang menyebabkan banyaknya gangguan gangguan bagi kesehatan. Misalnya , kanker, penyakit hati, diabetes, jantung bahkan kematian(Lovallo,2005; Suls& Wallston,2003)[16]
3.         Definisi Trauma
Trauma(Traumatic) adalah sebuah luka , baik yang bersifat fisik atau jasmaniah maupun psikis yang disebabkan oleh suatu pengalaman yang begitu menyakitkan atau berdampak langsung pada orang yang trauma.
4.         Definisi Frustasi
Frustasi (Frustation) adalah rintangan atau penggagalan tingkah laku untuk mencapai sasaran/ tujuan. Juga sebuah keadaan yang dipenuhi dengan kecemasan dan ketidaktenangan. Frustasi adalah perasaan yang sangat individual , ciri lainnya adalah sifanya yang sangat kompleks karena berisikan kecenderungan-kecenderungan emosional yang bertambah terus- menerus sehingga tidak bisa menghasilkan kepuasan mencapai tujuan. Frustasi harus bekerjasama dengan motivasi sehingga rintangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan bisa didapat secara optimal.

C.       Gejala-Gejala Konflik, Stress, Trauma, Frustasi













BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
B.        Saran
Dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup, baik itu permasalah dengan lingkungan, orang terdekat, ataupun permasalahan dengan diri sendiri dan gejolak batin, hendaklah kita menyikapinya dengan positif. Tidak mudah merasa putus asa, rendah diri, dan tidak percaya diri. Pikiran-pikiran yang negatif akan memberikan dampak buruk bagi diri kita sendiri. Oleh karena itu, sering-seringlah berpikir positif dalam menghadapi sesuatu. Namun, bukan berarti selalu berpikiran positif juga akan baik bagi kita karena bila selalu berpikir positif akan dapat mengakibatkan kebohongan pada diri sendiri atau mengingkari sesuatu yang buruk yang sebenarnya nyata adanya. Akan lebih baik bila kita bisa menyikapi hal-hal dengan dewasa dan kepala dingin.


DAFTAR PUSTAKA

Passer, Michael W., Smith Ronald E.  2007. Psychology The Science of Mind and Behavior. The McGraw-Hill Companies,Inc : New York
Drever, James. 1988. Kamus Psikologi. Bina Aksara : tanpa kota terbit
 J.P Chaplin. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Raja Grafindo Persada : Jakarta
IKAPI. 2006. Kesehatan Mental 2. Penerbit Kansius : Yogyakarta
Christian Barnard, Northcote Parkinson, Rustomji. Tanpa tahun terbit. Pemeliharaan Kesehatan Yang Efektif. PT BPK Gunung Mulia : Jakarta
Smith, Tom. 1985. Tekanan Darah Tinggi : Mengapa Terjadi, Bagaimana Mengatasinya. Penerbit ARCAN : Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar