MAKALAH
KESEHATAN MENTAL
Konsep
Konflik, Stres, Trauma, Frustasi
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Konsep Konflik, Stres, Trauma,
Frustasi” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental dari dosen
pengampu ibu Umi Nur Kholifah, M.Psi, Psikolog .
Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan atau petunjuk
maupun pedoman bagi yang membaca makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik yang membangun akan kami
terima dengan hati terbuka agar dapat meningkatkan kualitas makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas
perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Palembang, 05 September 2018
Penyusun
Kelompok 3
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesehatan
mental menurut seorang ahli kesehatan Merriam Webster , merupakan suatu keadaan
emosional dan psikologis yang baik, dimana individu dapat memanfaatkan
kemampuan kognitif dan emosinya, berfungsi dalam sosial dan memenuhi kebutuhan
sehari-hari.kondisi kesehatan mental tiap orang berbeda-beda tidak bisa
disamaratakan. Setiap individu memiliki kebutuhannya masing-masing dan untuk
mencapai kebutuhan ataupun tujuan dengan optimal diperlukan mental yang baik
dan sehat. Hal terbaik untuk mempertahankan mental yang sehat adalah dengan selalu
berpikir positif.
Kesehatan
mental adalah faktor yang memiliki peranan besar yang dapat menentukan
kehidupan seseorang itu sejahtera atau dipenuhi rasa sakit, kita bisa
mempertahankan kesehatan mental dan dapat mencegah berbagai penyakit yang
disebabkan oleh penyakit mental . Misalnya, karena stress tidak hanya berdampak
negatif terhadap fisik juga berdampak pada psikologis seseorang. Pada makalah
ini juga akan dijabarkan gejala dari konflik,stress,trauma dan frustasi
sehingga dapat dievaluasi dan didapatkan pencegahan yang efektif untuk mencegah
konflik,stress,trauma dan frustasi.
B.
Rumusan Masalah
1)
Sebutkan teori-teori konflik, stress,
trauma dan frustasi ?
2)
Jelaskan definisi dari konflik, stress,
trauma serta frustasi ?
3)
Bagaimana gejala-gejala dari konflik,
stress, trauma serta frustasi ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Penulisan makalah yang bertemakan konsep
konflik, stress, trauma serta frustasi bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental yang dberikan oleh Dosen
Pengampu
2.
Untuk mengetahui apa
saja teori teori yang dikemukakan,
definisi serta gejala dari konflik, stress, trauma dan frustasi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori
Konflik, Stress, Trauma, Frustasi
1.
Konflik
Konflik adalah tegangan dalam diri kita apabila kita berusaha
mencapai keputusan yang memuaskan terhadap situasi-situasi yang sama menariknya
atau juga situasi-situasi yang sama tidak menariknya. Atau dapat juga dikatakan
bahwa konflik merupakan keadaan jiwa yang tegang sebagai akibat dari bentrokan
antara motivasi-motivasi yang bertentangan.
Apa yang telah dipelajari individu, pengalaman-pengalaman yang
dimilikinya, kebiasaan-kebiasaan penyesuaian diri yang telah terbentuk
merupakan bekal atau perlengkapan yang dipakai untuk melawan konflik. Hal ini
mengakibatkan situasi-situasi tertentu akan menimbulkan konflik bagi beberapa
orang sedangkan dengan situasi yang sama tidak menjadikan hal tersebut sebagai
konflik bagi beberapa orang lainnya. Konflik-konflik tersebut biasanya berkahir
dengan frustasi dan banyak tegangan yang diakibatkannya menjadi faktor-faktor
dinamika yang berfungsi sebagai faktor yang langsung menentukan penyesuaian
diri dan kesehatan mental seseorang.
Psikoanalis menekankan pentingnya konflik-konflik bagi kehidupan
individu. Kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam konflik itu disebut id, ego,
dan superego. Menurut Freud, Id tidak memiliki organisasi dan
kesatuan kemauan, ia hanya memiliki impuls untuk mencapai kepuasan akan
kebutuhan-kebutuhan instingtif sesuai dengan prinsip kenikmatan. Id
tidak mengetahui nilai, yang baik, buruk, serta moralitas. Sebaliknya, superego
didefinisikan Freud sebagai wakil dari semua larangan moral, penyokong impuls
ke arah kesempurnaan.[1]
Id dan superego
selalu berperang. Akibatnya pasti akan terjadi bencana kalau tidak ada ego yang
bertindak sebagai perantara.
Sigmund Freud mengatakan :
“Setiap gerakannya diawasi oleh superego yang keras itu yang
menghambat norma-norma tingkah laku tertentu, tanpa memperhatikan beberapa
kesulitan yang berasa dari id dan dunia luar; dan apabila norma-norma
ini tidak diikuti, maka ia menghukum ego dengan perasaan tegang yang
menampakkan diri sebagai perasaan rendah diri dan perasaan bersalah. Dengan
demikian karena didorong terus oleh id, dikepung oleh superego, dan
ditolak oleh kenyataan, maka ego berjuang untuk melakukan tugas ekonomisnya
dalam mereduksikan kekuatan-kekuatan dan pengaruh-pengaruh yang bekerja di
dalamnya dan terhadapnya supaya tercapai semacam keselarasan; dan kta tidak
dapat memahami dengan baik apa sebabnya kita begitu sering tidak dapat menahan
keluhan: “Hidup tidak mudah”. Apabila ego terpaksa mengakui kelemahannya, maka
ia mendapat kecemasan; kecemasan terhadap kenyataan dalam berhadapan dengan
dunia luar, kecemasan moral dalam berhadapan dengan superego, dan kecemasan
neurotik dalam berhadapan dengan nafsu-nafsu dari id”[2]
2. Stres
Stres adalah tekanan luar yang megharuskan kita memberikan reaksi,
baik secara mental maupun fisik. Stres bersifat mental misalnya paduan dari
beberapa hal seperti masalah keuangan, pekerjaan, emosional, perkawinan, dan masalah
dalam keluarga lainnya. Yang bersifat fisik misalnya pekerjaan yang terlalu
menuntut, meletihkan, atau pekerjaan yang berulang-ulang.
Kebanyakan yang
terjadi di lapangan, hasil yang ditimbulkan akibat stres adalah tekanan darah
yang menjadi lebih tinggi dari biasanya. Inilah yang disebut orang-orang dengan
darah tinggi akibat stres.
Orang yang
terkena stres mungkin akan memperlihatkan tekanan darah yang agak lebih tinggi
dari biasanya, namun hal ini tidak berlangsung lama atau permanen meskipun sres
tetap ada.
Pada tahun
1939, Dr. Franz Alexander, seorang peneliti Amerika dalam kedokteran
psikosomatik, mengemukakan bahwa orang yang mengidap tekanan darah tinggi
mempunyai kecendrungan permusuhan yang kuat yang mereka tekan dan bergejolak di
dalam batin, dan tidak terungkapkan secara lahiriah.
Menurut Dr.
Alexander, ungkapan kemarahan secara batiniah ini menyebabkan meningkatnya
tekanan darah menjadi permanen. Orang berpendapat bahwa hal ini hanya berlaku
mungkin untuk beberapa penderita hipertensi, dan sebagian terbesar mempunyai
ciri kepribadian yang kurang lebih sama seperti kebanyakan orang.[3]
Akan tetapi,
contoh dari reaksi yang berbeda terhadap stres pada orang yang mempunyai
tekanan darah tinggi benar-benar memperlihatkan bahwa sekali anda hipertensi,
anda cenderung memberikan reaksi yang berbeda terhadap stres.
Dr. M. Esler
dan rekannya mengamati bahwa pasien yang tekanan darah tingginya berkaitan
dengan rasa permusuhan yang ditekan mempunyai kadar zat kimia yang diketahui
meninggikan tekanan darah, nor-adrenalin dan renin, yang lebih tinggi daripada
biasanya di dalam darah nya. [4]
Kemarahan yang ditekan menyebabkan produksi nor-adrenalin dan renin lebih
tinggi, dan kemudian kedua zat kimia tersebut menyebabkan tekanan darah tinggi.
Dengan membujuk pasien untuk tidak bereaksi dengan kemarahan atau agar tidak
menekannya, dapat mencegah peningkatan tekanan darah.
Bila tubuh
menjadi stres, beberapa hormon di dalam tubuh dipompakan secara berlebihan ke
dalam sistem tubuh. Ini berarti bahwa gula darah di dalam sistem itu
ditingkatkan. Kalau stres berlangsung lama, akan mengakibatkan meningkatnya
kadar gula dalam darah sehingga lambat laun akan menyebabkan diabetes dan
ateroskleorosis.[5]
Cara-cara
mengatasi stres
·
Menghadapi diri
anda sendiri dengan penuh keberanian
Jikaanda mengidap tekanan darah tinggi, cobalah untuk melakukan
tinjauan objektif terhadap kepribadian anda sendiri, gaya hidup, kecemasan dan
ketakutan anda, bagaimana anda menanggapinya.
Tujuan dari tinjauan seperti itu bukan untuk belajar bagaimana
menghindari stres melainkan untuk mengetahui bagaimana anda menghadapi stres
yang anda jumpai dalam lingkungan anda dengan penuh keberanian.
Selain dari tekanan darah yang meningkat, depresi juga merupakan
hasil yang bisa ditimbulkan akibat adanya stres. Reaksi terhadap stres sering
kali ditangguhkan dan depresi dapat terjadi beberapa bulan sesudah peristiwa
itu terjadi. Riset telah memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian dalam hidup
yang buruk cenderung menumpuk dalam 6-12 bulan sebelum depresi mulai terjadi.
Menurut Beck, ada beberapa kondisi yang dapat mencetuskan depresi :
1.
Stres yang
spesifikk yaitu kondisi atau peristiwa yang memiliki persamaan dengan
pengalaman traumatik individu pada masa lalu.
2.
Stres
nonspesifik
3.
Faktor-faktor
lain yang memberi arah merupakan faktor di luar ke dua faktor di atas namun
tetap mampu menimbulkan depresi. Faktor-faktor tersebut tidak dapat
diidentifikasikan secara khusus. Tetapi Beck menyebutkan salah satunya adalah
ketegangan psikologis
3.
Trauma
4.
Frustasi
Frustasi adalah suatu perasaan yang muncul karena terjadinya
hambatan dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau menyangka bahwa
akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginan untuk mencapai
kebutuhan-kebutuhan itu[6].
Secara sederhananya, frustasi adala rintangan atau gangguan dalam usaha
mencapai tujuan.
Perasaan frustasi merupakan pengalaman yang individual.[7]
Ini disebabkan karena, apa yang menyebabkan seseorang menjadi frustasi, belum
tentu orang lain juga akan mengalami frustasi dengan penyebab yang sama.
Ada dua sumber utama penyebab frustasi yaitu sumber yang berasal
dari luar dan sumber yang berasal dari dari dalam.[8]
Sumber dari luar dapat berupa situasi-situasi atau keadaan luar. Sedangkan
sumber yang berasal dari dalam bisa jadi disebabkan oleh faktor-faktor fisik
dan perbedaan-perbedaan intelektual. Faktor-faktor fisik dapat berupa penyakit.
Misalnya saja seseorang yang berbeda fisik dengan orang lain maka bisa saja ia
terkena beberapa bentuk frustasi. Frustasi yang disebabkan karena perbedaan intelektual
misalnya seseorang yang kecewa karena merasa tidak mampu bersaing dengan teman
sekelasnya.
Orang-orang memberikan respons yang berbeda-beda dalam menghadapi
frustasi. Misalnya saja ada dua siswa yang berusaha memecahkan soal matematika.
Salah satu siswa tersebut mungkin melemparkan pensilnya karena kesal tak
kunjung menemukan jawaban sedangkan siswa satunya tetap berusaha unttukmencari
jawaban dari soal matematika tersebut. Meskipun mengerjakan soal matematika
tidak dilakukan seseorangsetiap saat, atau lebih tepatnya mengerjakan soal
matematika adalah bentuk situasi sementara, namun bila pendekatan-pendekatan
yang digunakan selalu sama akan memberi ciri tersendiri bagi tingkah laku
seseorang tersebut di masa yang akan datang.[9]
Hipotesis Frustasi-Agresi
Dollard dengan kawan-kawannya mengemukakan dalil sebagai berikut :
“...terjadinya tingkah laku yang agresif selalu mengandalkan adanya
frustasi dan sebaliknya adanya frustasi selalu menyebabkan suatu bentuk agresi. Dari observasi sehari-hari rupanya
masuk akal bila dikatakan bahwa tingkah laku agresif dengan berbagai macam
bentuk yang biasanya dkenal selalu dapat ditelusuri dan disebabkan oleh suatu
bentuk frustasi. Tetapi tidak begitu segera kelihatan bahwa bilamana saja
terjadi frustasi maka tidak bisa tidak akan terjadi agresi dengan macam dan
tingkat tertentu. Pada banyak orang dewasa dan bahkan anak-anak, frustasi
mungkin diikut oleh sikap yang jelas dan begitu cepat menerima situasi dan
dapat menyesuaikan diri kembali sehingga orang sia-sia mencari kriteria yang
relatif. Tetapi harus diingat bahwa salah satu pelajaran paling awal yang
dipelajari manusia sebagai akibat dari kehidupan sosial adalah menekan dan
menahan reaksi-reaksi yang terang-terangan agresif. Tetapi ini tidak berarti
bahwa kecendrungan-kecendrungan reaksi seperti itu tidak dilenyapkan meskipun
untuk sementara ditekan, ditunda, disembunyikan, dipindahkan atau dibelokkan
dari tujuannya yang langsung dan logis.”[10]
Agresi langsung adalah cara yang normal yang dilakukan seseorang
untuk mempertahankan harga dirinya apabila sedang mengalami frustasi.[11]Misalnya
saja seorang anak yang sering diolok-olok teman-temannya di sekolah, adalah hal
wajar bila ia berusaha mempertahankan statusnya dengan mendorong temannya.
Untuk beberapa anak yang tidak berani melakukan tindakan langsung seperti itu,
maka bisa saja kefrustasian yang didapatkannya di sekolah akan dilampiaskannya
di rumah.
Dalam membahas tentang kekerasan dalam tingkah laku manusia,
Berkowitz berpendapat bahwa,”kemarahan dan kebiasaan-kebiasaan yang dipelajari
masing-masing secara terpisah atau bersama-sama menciptakan suatu kesiapan
untuk bertindak dengan cara yang bermusuhan”, tetapi apabila tingkah laku yang
bermusuhan benar-benar terjadi maka
pasti ada ssuatu mengenai situasi sekarang yang membangkitkan “dorongan
kemarahan sekarang atau masa lampau”[12]
Berkowitz berpendapat bahwa orang yang pada saat sekarang
megungkapkan kemarahan kepada seseorang atau sesuatu dengan tujuan supaya
dirinya merasa lebih baik, tidak berarti pada saat yang akan datang kemarahan
tersebut tidak terulang lagi diungkapkan kepada objek yang sama. Sesungguhnya
tindakan agresif mungkin sangat membantu dalam menguatkan suatu kebiasaan
agresi.
Apabila agresi diarahkan kepada diri sendiri, maka akan lebih
berbahaya bagi kesehatan mental indvidu dibandingkan bila agresi tersebut
dilampiaskan ke-ada objek luar tertentu. Agresi terhadap diri sendiri dapat
dilakukan secara ekstrem sehingga mengakibatkan kerusakan pada dirinya secara
psikologis, misalnya saja psikosis skizofrenia atau bahkan dapat melakukan
tindakan bunuh diri.
Toleran
terhadap frustasi
Menurut Lehner
dan kupe, toleran terhadap frustasi merupakan kemampuan individu untuk menahan
penundaan, rintangan, atau konflik tanpa menggunakan tingkah laku yang tidak
dapat menyesuaikan diri atau menderita disorganisasi kepribadian.[13]
Selain
berbeda-beda dalam merespons frustasi, kita juga melakukan tindakan yang
berbeda-beda dalam memberikan toleransi terhadap frustasi.untuk memahami
perbedaan-perbedaan individual dalam toleransi terhadap frustasi, kita perlu
mempertimbangkan hubungan anatara peristiwa dan orangnya karena peristiwa yang
sama bisa saja mengandung arti yang berbeda bagi orang lain.
B.
Definisi konflik, Stress, Trauma,
Frustasi
1.
Definisi konflik
Konflik
adalah pilihan kebutuhan dan tekanan. Conflict adalah perlawanan antara impuls
yang saling bertentangan atau keinginan yang saling bertentangan, biasanya
mengakibatkan ketegangan emosi. Menurut teori psikoanalisa, konflik sendiri
bisa mengakibatkan tekanan (repression) yang bisa menyebabkan seseorang menutup
memori dan menjadi pelupa. [14]
2.
Definisi stress
Stress
adalah suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun secara psikologis[15].
Stress dibagi menjadi 2 yaitu :
·
Stress yang baik (Eustress) , yaitu
stress yang membuat anda nyaman seperti bertem dengan teman lama atau kerabat
dekat yang sudah lama tidak ditemui.
·
Stress yang buruk ( Distress), yaitu
kebalikan dari eustress. Stress yang burk inilah yang menyebabkan banyaknya
gangguan gangguan bagi kesehatan. Misalnya , kanker, penyakit hati, diabetes,
jantung bahkan kematian(Lovallo,2005; Suls& Wallston,2003)[16]
3.
Definisi Trauma
Trauma(Traumatic)
adalah sebuah luka , baik yang bersifat fisik atau jasmaniah maupun psikis yang
disebabkan oleh suatu pengalaman yang begitu menyakitkan atau berdampak
langsung pada orang yang trauma.
4.
Definisi Frustasi
Frustasi
(Frustation) adalah rintangan atau penggagalan tingkah laku untuk mencapai sasaran/
tujuan. Juga sebuah keadaan yang dipenuhi dengan kecemasan dan ketidaktenangan.
Frustasi adalah perasaan yang sangat individual , ciri lainnya adalah sifanya
yang sangat kompleks karena berisikan kecenderungan-kecenderungan emosional
yang bertambah terus- menerus sehingga tidak bisa menghasilkan kepuasan
mencapai tujuan. Frustasi harus bekerjasama dengan motivasi sehingga rintangan
terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan bisa didapat secara optimal.
C. Gejala-Gejala
Konflik, Stress, Trauma, Frustasi
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
Saran
Dalam
menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup, baik itu permasalah dengan
lingkungan, orang terdekat, ataupun permasalahan dengan diri sendiri dan
gejolak batin, hendaklah kita menyikapinya dengan positif. Tidak mudah merasa
putus asa, rendah diri, dan tidak percaya diri. Pikiran-pikiran yang negatif
akan memberikan dampak buruk bagi diri kita sendiri. Oleh karena itu,
sering-seringlah berpikir positif dalam menghadapi sesuatu. Namun, bukan
berarti selalu berpikiran positif juga akan baik bagi kita karena bila selalu
berpikir positif akan dapat mengakibatkan kebohongan pada diri sendiri atau
mengingkari sesuatu yang buruk yang sebenarnya nyata adanya. Akan lebih baik
bila kita bisa menyikapi hal-hal dengan dewasa dan kepala dingin.
DAFTAR PUSTAKA
Passer, Michael W., Smith Ronald E. 2007. Psychology
The Science of Mind and Behavior. The McGraw-Hill Companies,Inc : New
York
Drever, James. 1988. Kamus Psikologi. Bina Aksara : tanpa
kota terbit
J.P Chaplin. 2011. Kamus Lengkap Psikologi.
Raja Grafindo Persada : Jakarta
IKAPI. 2006. Kesehatan Mental 2.
Penerbit Kansius : Yogyakarta
Christian Barnard, Northcote Parkinson,
Rustomji. Tanpa tahun terbit. Pemeliharaan Kesehatan Yang Efektif. PT
BPK Gunung Mulia : Jakarta
Smith, Tom. 1985. Tekanan Darah
Tinggi : Mengapa Terjadi, Bagaimana Mengatasinya. Penerbit ARCAN : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar