Agama Islam
yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja
melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang
berkenaan dengan kerja ini.
Dalam suatu ungkapan dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis,
Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin
yang kuat bekerja.”
Nyatanya kita
kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan
ungkapan-ungkapan tadi. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita
dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia,
akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya
tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
A)
Pengertian Etos Kerja
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak,
karakter serta keyakinan atas sesuatu.Ethos dibentuk oleh berbagai
kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya.
Kerja adalah suatu aktivitas yang
menghasilkan suatu karya. Karya yang dimaksud, berupa segala yang dihasilkan
untuk memenuhi kebutuhan, dan selalu berusaha menciptakan karya-karya lainnya.
Etos Kerja adalah sikap kepribadian yang melahirkan
keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan
dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi
dari amal sholeh.
B) Prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam
1. Bekerja secara halal (thalaba ad-dunya
halalan) baik dari jenis pekerjaan maupun cara menjalankannya. Dicontohkan
orang yang berprofesi sebagai pedagang ikan di pasar. Namun jika pedagang
tersebut melakukan hal-hal yang tidak baik (membayakan orang lain) misalkan
menjual ikan berformalin, maka dapat dikatakan profesi yang semula halal
menjadi haram (‘haram lighairihi’). Berbeda dengan orang yang berprofesi
menjadi PSK. Mau dengan alasan apapun tetap profesi PSK adalah haram (‘haram
lidzatihi’)
2. Bekerja agar tidak menjadi beban hidup
orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Sebagai orang beriman dilarang menjadi
beban orang lain (benalu). Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda
dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang
yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya
di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi
atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
3. Bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga
(sa’yan ala iyalihi). Karena memenuhi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain,
tidak dapat diwakilkan, dan melaksanakannya juga termasuk dalam jihad. Hadis
Rasulullah menyebutkan “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi
yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang
kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah”
(HR Ibnu Majah).
4. Bekerja guna meringankan beban hidup
tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan
diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam
menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan
telinga dari segala penderitaan di lingkungan sekitar.
اِعْـمَـلْ
لِـدُنْـيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِـيْشُ اَبَـدًا وَاعْـمَـلْ لِاخِـرَتِكَ كَأَنَّكَ
تَـمُوْتُ غَـدًا رواه الـبيهقى
Artinya : “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup
selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok
pagi”.QS. HR. Al Baihaqi
Nilai-nilai etos kerja yang harus dijunjung tinggi :
· Kejujuran
dan kesungguhan dalam menyelesaikan tugas
· Kebersamaan
dalam kelompok. Yaitu mengutamakan kepentingan kelompok dari pada kepentingan anggota kelompok.
· Menghindari
persaingan dalam kelompok.
· Memandang
teman-teman sekerja sebagai teman seperjuangan
·
Keserasian organisasi, yaitu hubungan antar anggota organisasi baik
pimpinan dengan pimpinan, pimpinan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan harus
serasi dan selaras. Semua anggota organisi wajib menjaga keserasian tersebut.
C)
Ciri-ciri Orang yang Memiliki Etos Kerja
yang Tinggi
Ciri-ciri orang yang memiliki
semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari sikap dan tingkah lakunya,
diantaranya:
·
Orientasi ke masa depan. Artinya semua kegiatan harus di rencanakan dan di
perhitungkan untuk menciptakan masa depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih
bahagia daripada keadaan sekarang, lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu
hendaklah manusia selalu menghitung dirinya untuk mempersiapkan hari esok.
· Kerja
keras dan teliti serta menghargai waktu. Kerja santai, tanpa rencana, malas,
pemborosan tenaga, dan waktu adalah bertentangan dengan nilai Islam, Islam
mengajarkan agar setiap detik dari waktu harus di isi dengan 3 (tiga) hal
yaitu, untuk meningkatkan keimanan, beramal sholeh (membangun) dan membina
komunikasi sosial.
·
Bertanggung jawab.
Semua
masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik
kebahagiaan maupun kegagalan, tidak berwatak mencari perlindungan ke atas, dan
melemparkan kesalahan di bawah
· Hemat
dan sederhana. Seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, laksana seorang
pelari marathon lintas alam yang harus berlari jauh maka akan tampak dari cara
hidupnya yang sangat efesien dalam mengelola setiap hasil yang diperolehnya.
Dia menjauhkan sikap boros, karena boros adalah sikapnya setan.
· Adanya
iklim kompetisi atau bersaing secara jujur dan sehat.
Setiap
orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun kemajuan
itu harus
di capai secara wajar tanpa merugikan orang lain.
D)
Etika Etos Kerja dalam Islam
·
Pertama,
melakukan pekerjaan dengan baik.
Di dalam
al-Quran Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS.
Al-Baqarah [2] : 172).
Dalam
memilih seseorang untuk diserahi suatu tugas, Rasulullah saw melakukannya
secara selektif, di antaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan, dan
kedalaman ilmunya. Beliau juga selalu mengajak mereka agar tekun dalam
menunaikan pekerjaan.
·
Kedua,
takwa dalam melakukan pekerjaan.
“…. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah
[2] : 197).
Kerja
mempunyai etika yang harus selalu diikutsertakan di dalamnya, oleh karena kerja
merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para
pekerja dapat meningkatkan tujuan akhirat dari pekerjaan yang mereka lakukan,
dalam arti bukan sekedar memperoleh upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja
adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat.
Etika bekerja yang disertai dengan ketakwaan merupakan tuntunan Islam.
·
Ketiga,
adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah, tidak menipu,
merampas, mengabaikan sesuatu, dan semena-mena.
Pekerja
harus memiliki komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban Allah, seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu
memperbaiki muamalahnya. Di samping itu, mereka harus mengembangkan etika yang
berhubungan dengan masalah kerja sehingga menjadi suatu tradisi kerja yang
didasarkan pada prinsip-prinsip agama.
·
Keempat,
adanya keterikatan individu terhadap diri dan kerja yang menjadi tanggung
jawabnya.
Sikap ini
muncul dari iman dan rasa takut individu terhadap Allah. Kesadaran ketuhanan dan
spiritualitasnya mampu melahirkan sikap-sikap kerja positif. Kesadaran bahwa
Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun, serta akan menghisab seluruh
amal perbuatannya secara adil dan fair, kemudian akan membalasnya dengan pahala
atau siksaan di dunia.
·
Kelima,
berusaha dengan cara halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
Rasulullah
saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang
Baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sesuatu yang
diperintahkan kepada para utusan-Nya.” (H.R Muslim dan Tirmidzi).
“Mencari yang halal adalah wajib bagi
setiap muslim.” (H.R Ath Thabrani)
·
Keenam,
dilarang memaksakan (memforsir) seseorang, alat-alat produksi, atau binatang
dalam bekerja.
Semua
harus dipekerjakan secara proporsional dan wajar, misalnya tidak boleh
mempekerjakan buruh atau hewan secara zhalim. Termasuk didalamnya penggunaan
alat-alat produksi secara terus menerus. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya
tubuhmu mempunyai hak atas dirimu.”
Para ahli
fiqih telah menegaskan pentingnya kasih sayang terhadap para pekerja dan hewan
yang dipekerjakan. Mereka yang sadar amat memperhitungkan beban yang semestinya
dipikul oleh para pekerja. Mereka melarang membebani binatang diluar
kekuatannya. Mereka menyuruh para pekerja menurunkan barang-barang muatan dari
atas punggung hewan yang mengangkutnya jika sedang istirahat, agar tidak
membahayakan. Demikian pula terhadap alat-alat produksi.
·
Ketujuh, Islam
tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah.
Dalam
bekerja tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam seperti
memeras bahan-bahan minuman keras, sebagai pencatat riba, pelayan bar, pekerja
seks komersial (PSK), Narkoba, dan bekerja dengan penguasa yang menyuruh
kejahatan seperti membunuh orang dan sebagainya.
Rasulullah
saw bersabda :
“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk
untuk mendurhakai Sang Pencipta.” (HR. Ahmad bin Hambal dalam Musnad-Nya dan
Hakim dalam Al Mustadraknya, kategori hadits shahih).
·
Kedelapan,
kuat dan dapat dipercaya (jujur) dalam bekerja.
Baik
pekerja pemerintah, swasta, bekerja pada diri sendiri, ataukah di umara, para
hakim, para wali rakyat, maupun para pekerja biasa, mereka adalah orang-orang
yang disebut “pegawai tetap”. Begitupun kelompok pekerja lain, seperti tukang
sepatu, penjahit, dan lainnya ; atau para pedagang barang-barang seperti beras;
atau para petani, mereka juga harus dapat dipercaya dan kuat, khususnya mereka
mandiri dalam kategori terakhir.
·
Kesembilan,
bekerja secara profesional (ahli).
Aspek
profesionalisme ini amat penting bagi seorang pekerja. Maksudnya adalah
kemampuan untuk memahami dan melaksankan pekerjaan sesuai dengan prinsipnya
(keahlian). Pekerja tidak cukup hanya dengan memegang teguh sifat-sifat amanah,
kuat, berakhlaq dan bertakwa, namun dia harus pula mengerti dan menguasai benar
pekerjaannnya.
Umar ra.
sendiri pernah mempekerjakan orang dan beliau memilih dari mereka orang-orang
yang profesional dalam bidangnya. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan: “Bila
suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
(al-Hadits)
E). Contoh
etos kerja dalam islam
- Dalam hal melakukan pekerjaan tidak melupakan shalat 5 waktu
- Bertanggung jawab dalam hal pekerjaan yang diembang
- Melakukan pekerjaan dengan niat yang ikhlas
- Tidak menjual barang/benda yang dilarang.
- Tidak menunda-nunda suatu pekerjaan
- Bekerja dengan teliti serta tepat waktu
- Bekerja dengan jujur/tidak curang
- Tidak mudah putus asa
- Memulai suatu pekerjaan dengan basmallah dan diakhiri dengan hamdalah
- dan lain lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar